Belum lama ini, kebijakan penggunaan vape kembali menjadi pembahasan masyarakat setelah Lawrence Wong Perdana Menteri (PM) Singapura memperlakukan penggunaan vape atau rokok elektrik, sama seperti masalah narkotika.
Kebijakan yang diambil Wong ini menyusul adanya peningkatan pemakaian vape di kalangan anak muda, terutama remaja Singapura. Padahal di dalam vape, terkandung zat-zat yang berbahaya bagi tubuh.
Larangan penggunaan vape itu disampaikan Wong dalam pidato National Day Rally (NDR) 2025 di Institut Pendidikan Teknikal (ITE) Headquarters.
Menurutnya, produk vape yang beredar, khususnya di Singapura, tidak hanya berisi nikotin, tetapi juga dicampur zat berbahaya dan adiktif seperti etomidate, yang akan segera dikategorikan sebagai obat terlarang Kelas C, di bawah Misuse of Drugs Act.
Selain memperketat hukuman, pemerintah Singapura juga akan menyediakan program rehabilitasi dan pendampingan, bagi pengguna yang sudah kecanduan.
Di Indonesia, angka pengguna vape terus meningkat tiap tahunnya. Dari tahun 2011 yang hanya 0,3 persen, di tahun 2021 lalu menjadi 3 persen atau sekitar 6,2 juta pengguna.
Lalu, apakah Indonesia perlu memiliki kebijakan pengaturan penggunaan vape sama seperti Singapura?
Dalam diskusi di program Wawasan Polling Suara Surabaya, Kamis (21/8/2025), mayoritas masyarakat setuju jika ada kebijakan pengaturan penggunaan vape di Indonesia.
Berdasar data dari Instagram @suarasurabayamedia, sebanyak 88 persen atau 874 orang setuju jika ada kebijakan pengaturan penggunaan vape di Indonesia. Sementara 12 persen sisanya atau 124 suara, menyatakan tidak setuju.
Rahandi Satria pendengar Radio Suara Surabaya menyatakan setuju jika ada kebijakan pengaturan penggunaan vape di Indonesia. Karena menurutnya, jika langsung dilarang, ini seperti dua sisi mata pisau.
“Suka tidak suka, mau tidak mau, rokok dan mungkin vape, memberikan pendapatan terbesar di negara kita. Saya setuju kalau itu ditertibkan. Jadi diawasi lagi oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM),” katanya, saat onair di Radio Suara Surabaya.
Dia lebih setuju jika rokok elektrik diproduksi oleh produsen rokok, yang mana produknya memang sudah diawasi oleh BPOM.
Sementara dr Yohannes Fong spesialis andrologi menerangkan, meskipun asap yang dihasilkan vape tidak berbau dan cenderung lebih sedikit dari rokok biasa, harusnya yang menjadi perhatian adalah tetap kandungan nikotin di dalamnya.
“Kandungan nikotin dalam vape itu tetap masuk dalam zat adiktif. Kita juga tidak tahu cairan apa yang masuk dalam liquid vape,” tegasnya.
Jika pelarangan vape dan rokok selalu dikaitkan dengan pendapatan negara, menurut Yohannes, Indonesia masih memiliki sektor lain yang bisa dikembangkan.
“Kalau kita ngomong soal pendapatan, masih ada sektor lain yang bisa kita manfaatkan. Selain itu, kita juga harus berpikir soal pengetatan pengeluaran,” ungkapnya.
Sementara salah satu pendengar yang menyatakan tidak setuju dengan kebijakan pengaturan penggunaan vape, karena dinilai lebih menghemat pengeluaran.
“Rokok satu bungkus dibanderol Rp50 ribu, cuma bisa bertahan satu atau dua hari lah. Sedangkan liquid vape sebanyak 60ml, dibanderol dengan harga Rp150 ribuan, tapi bisa bertahan satu bulan. Jadi lebih hemat vape daripada rokok,” kata Wakit via WA Suara Surabaya.(kir/ipg)
wawasan-polling-suara-surabaya-mayoritas-masyarakat-setuju-pemerintah-terapkan-kebijakan-penggunaan-vape-seperti-singapura