
(RATNA/RADAR LOMBOK)
MATARAM – Puluhan warga dari kawasan Mandalika, Lombok Tengah, mendatangi Gedung Kantor Gubernur Nusa Tenggara Barat Rabu (9/9). Mereka mendesak Gubernur NTB, Dr. H. Lalu Muhamad Iqbal, turun tangan menyelesaikan konflik lahan berkepanjangan di Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Mandalika yang hingga kini belum tuntas.
Dalam aksi tersebut, warga yang tergabung dalam Aliansi Warga Mandalika menyampaikan empat tuntutan utama. Antara lain penyelesaian konflik lahan yang berlarut-larut, pembangunan kembali pemukiman warga terdampak penggusuran, pemberian kompensasi atas tanah, tanam tumbuh dan properti yang rusak, serta pemulihan penghidupan masyarakat.
Sekretaris Aliansi Warga Mandalika, Harisandi, mengungkapkan masih ada diskriminasi dalam program pembangunan kembali pemukiman. Dari empat desa dan 15 dusun terdampak, hanya dua dusun yang telah mendapat perhatian.
“Ada 13 dusun lain dengan ribuan warga terdampak yang tidak mendapat program pemukiman kembali. Sebelum penggusuran, ada sekitar 200 kepala keluarga di sana,” ujarnya.
Selain itu, warga juga menagih kompensasi dari PT ITDC (Indonesia Tourism Development Corporation) yang hingga kini belum dibayarkan. Harisandi menyebut seharusnya kompensasi dilakukan dalam waktu 12 bulan, namun hampir tujuh tahun berlalu belum terealisasi.
Janji ITDC untuk memberikan pelatihan pariwisata dan mempekerjakan minimal satu anggota keluarga dengan gaji Rp2 juta per bulan pun tak pernah diwujudkan. “Sudah tujuh tahun janji itu tidak pernah terealisasi sampai sekarang,” tegasnya.
Warga juga mengecam praktik penggusuran yang dinilai sewenang-wenang, seperti di kawasan Tanjung Aan, yang melibatkan aparat kepolisian, TNI, serta keamanan swasta Vanguard dengan total 700 personel.
“Penggusuran ini mengakibatkan 186 pedagang kehilangan mata pencahariannya. Ada 2.000 orang yang hidupnya bergantung di Pantai Tanjung Aan, hanya demi pembangunan hotel bintang lima dengan nilai investasi Rp2,1 triliun dari investor asal Jepang,” jelasnya.
Tak berhenti di situ, warga menyebut ancaman penggusuran masih berlanjut. Pada 21–23 Agustus 2025 lalu, ITDC bersama aparat kembali mendata warga di Dusun Muluq, Pedau, dan Ebunut. Lahan yang diproyeksikan terdampak mencapai 56,07 hektare di Muluq dan Pedau dengan 27 KK dengan 97 jiwa serta 12,88 hektare di Ebunut dengan 19 KK 53 jiwa yang terancam tergusur.
Menurut Harisandi, proyek The Mandalika telah mengorbankan ruang hidup dan identitas budaya masyarakat setempat, bahkan menimbulkan kekerasan struktural. Karena itu, warga mendesak pemerintah membentuk tim independen penyelesaian sengketa lahan, menghentikan keterlibatan aparat dan keamanan swasta, serta melakukan land audit di seluruh area Mandalika.
“Hentikan seluruh skema perampasan tanah sekarang juga. Jalankan reforma agraria sejati sebagai syarat pembangunan industrialisasi nasional,” serunya.
Harisandi juga menegaskan bahwa konflik Mandalika merupakan warisan panjang sejak era PT Pajawali Wira Bhakti Utama 1985–1989 yang tak pernah terselesaikan. Pembangunan sirkuit internasional hingga proyek hotel disebut hanya memperpanjang daftar pelanggaran HAM di kawasan tersebut. Bahkan, Kantor Komisaris Tinggi PBB untuk HAM (OHCHR) telah berulang kali mengingatkan risiko tinggi pelanggaran HAM dalam proyek Mandalika.
“Upaya paksa, intimidasi, dan penggunaan aparat terus berlangsung di lapangan. ITDC sudah sering diingatkan, tapi tetap membatu,” imbuhnya.
Menanggapi hal ini, Kepala Bakesbangpoldagri NTB, Ruslan Abdul Gani, yang menerima perwakilan warga, menyatakan komitmen pemerintah untuk menindaklanjuti tuntutan tersebut. Pihaknya berjanji akan mengkomunikasikan masalah ini dengan ITDC dan melaporkan aspirasi warga kepada Gubernur NTB.
“Pemerintah itu sangat berkomitmen, tetapi perlu didialogkan. Pembentukan tim independen akan kami laporkan ke Pak Gubernur. Yang pasti langkah pertama dilakukan adalah koordinasi dengan ITDC,” ujarnya. (rat)
warga-mandalika-desak-gubernur-turun-selesaikan-sengketa-lahan