SIDOARJO — Puluhan mahasiswa yang tergabung dalam Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) Sidoarjo berdiri berbaris, sebagian duduk di aspal, sebagian lainnya mengibarkan spanduk bertuliskan tuntutan: “Tegakkan Keadilan untuk Hanania!” Kamis ( 04/09/2025).
Mereka datang bukan untuk basa-basi. Mereka datang membawa kemarahan, rasa duka, sekaligus tekad untuk mengawal kasus meninggalnya seorang balita bernama Hanania, bocah mungil dari Desa Candi Pari, Porong. Hanania meninggal saat dirawat di sebuah klinik. Orang tua korban meyakini ada unsur kelalaian medis. Berita itu cepat menyebar, menimbulkan amarah kolektif di masyarakat.
Di balik gerbang besi yang kokoh, seorang pria berkopiah dengan batik hijau menatap situasi dengan tenang. Ia tidak bersembunyi di ruang kerja ber-AC. Ia berdiri di depan rakyatnya. Dialah H. Abdillah Nasih, Ketua DPRD Sidoarjo.
Dengan tangan terangkat, ia memberi isyarat meminta massa menenangkan diri. “Teman-teman mahasiswa, mari kita duduk bersama. Tidak perlu ada teriakan saling melawan. Saya Ketua DPRD Sidoarjo, saya akan bicara di sini bersama kalian. Tidak ada yang akan ditutup-tutupi. Kita sama-sama mencari kebenaran,” ucapnya mantap.
Ucapannya seketika meredam sebagian emosi. Sorakan masih ada, tapi tensinya menurun. Di sisi Abdillah, Plt Kepala Dinas Kesehatan Sidoarjo, dr. Lhaksmie, terlihat kaku. Tak banyak kata keluar dari mulutnya. Semua mata justru tertuju pada Ketua DPRD yang kini jadi tumpuan harapan sekaligus sasaran kritik.
Hanania hanyalah seorang bocah kecil yang masih belajar berjalan, masih gemar bermain boneka dan mengucapkan kata-kata sederhana. Namun takdir berkata lain. Sakit membuatnya harus dibawa ke klinik. Alih-alih pulih, nyawa mungil itu melayang.
“Anak kami sehat-sehat saja sebelumnya, hanya panas biasa. Tapi setelah ditangani di klinik, kondisinya semakin memburuk,” tutur ayah Hanania dalam kesaksian yang disampaikan kepada DPRD beberapa hari setelah kejadian.
Bagi publik, peristiwa ini adalah pukulan. Bagi mahasiswa, kasus ini adalah tanda bahwa sistem layanan kesehatan di Sidoarjo rapuh. “Ini bukan sekadar soal satu anak. Ini tentang sistem. Tentang bagaimana rakyat kecil diperlakukan saat mencari pengobatan,” ujar Antonius, Ketua GMNI Sidoarjo.
Hanania pun menjadi simbol. Namanya bergema di spanduk, di orasi, di media sosial. Ia menjadi representasi ribuan keluarga yang khawatir jika suatu hari nasib anak mereka bisa serupa.
Puluhan mahasiswa mulai memenuhi depan gerbang DPRD Sidoarjo. Polisi berjaga, suasana tegang namun terkendali.
“Buka pintu! Rakyat datang menuntut keadilan!” teriak seorang mahasiswa.
Massa melontarkan tuntutan keras: investigasi tuntas, audit layanan kesehatan, dan tindakan tegas terhadap klinik yang diduga lalai.
Antonius, dengan jaket merah GMNI, maju ke depan. “Kami ingin tahu! Sejauh mana Dinas Kesehatan sudah bertindak? Apa DPRD hanya diam? Kami tidak butuh alasan normatif, kami butuh kejelasan!”
Di hadapan tekanan itu, Abdillah Nasih melangkah maju. Suaranya lantang namun tenang. “Saya paham kemarahan kalian. Saya pun marah. Tidak boleh ada lagi Hanania-Hanania berikutnya di Sidoarjo!” katanya.
Dialog terbuka dimulai di teras gedung dewan. Mahasiswa duduk di lantai, sementara Abdillah berdiri sejajar, tidak meninggikan dirinya.
Ia menyampaikan sejumlah poin penting:
1. DPRD Turun Langsung
“Begitu kasus ini mencuat, kami DPRD langsung turun. Kami menemui keluarga korban, mendengar langsung keluhannya. Kami tidak hanya membaca laporan di atas kertas. Kami ingin kebenaran yang utuh.”
2. Pemanggilan Pihak Terkait
“Kami sudah memanggil beberapa pihak. Bulan depan, setelah hasil pemeriksaan keluar, kami akan memanggil pihak klinik, dinas kesehatan, bahkan dokter yang menangani. Semua harus terbuka.”
3. Tenggat Waktu 1 Bulan
“Saya setuju dengan teman-teman mahasiswa. Kasus ini tidak boleh berlarut. Saya pastikan sekitar satu bulan hasil pemeriksaan sudah diketahui. Silakan teman-teman datang lagi bulan depan. Saya akan menemui kalian lagi.”
4. Sanksi Tegas
“Kalau terbukti ada kelalaian, kita tidak boleh ragu. Harus ada sanksi. Kalau klinik tidak layak, tutup! Kalau ada malpraktik, seret ke jalur hukum.”
Sepanjang dialog, Abdillah berulang kali menegaskan posisi DPRD sebagai lembaga rakyat. Berikut beberapa pernyataan pentingnya:
“Kesehatan adalah hak rakyat. Tidak boleh ada diskriminasi antara orang kaya dan miskin.”
“Saya tidak ingin kasus ini hanya jadi headline sebentar. Saya ingin ada perubahan nyata.”
“Kalau rakyat merasa terzalimi, DPRD harus menjadi benteng terakhir.”
“Hanania adalah ujian moral bagi kita semua. Kita sedang diuji: apakah berani berubah, atau memilih diam?”
Pernyataan itu memantik tepuk tangan sebagian mahasiswa. Namun sebagian lainnya tetap skeptis. “Kami tunggu buktinya, Pak Ketua,” sahut seorang mahasiswa.
Antonius berdiri lagi. “Kami tidak puas dengan jawaban normatif. Kami butuh bukti nyata. Kami beri waktu satu bulan. Kalau tidak ada hasil, kami akan datang lagi dengan jumlah lebih besar.”
Massa bersorak, yel-yel kembali pecah. Suasana kembali panas. Namun Abdillah tetap tenang. “Baik, satu bulan. Itu janji saya. Silakan datang lagi. Gedung ini rumah rakyat. Saya akan menemui kalian sendiri.”
Dialog pun ditutup dengan ketegangan yang belum tuntas. Mahasiswa menegaskan akan mengawal. DPRD berjanji menuntaskan. Publik menjadi saksi
Usai aksi, Abdillah duduk di ruang kerjanya. Kepada wartawan, ia mengungkapkan beban yang dipikul DPRD. “Ini bukan hanya soal kasus medis. Ini soal kepercayaan publik. Kalau DPRD gagal, rakyat akan semakin apatis. Itu berbahaya bagi demokrasi.”
Ia menambahkan: “Saya tidak ingin DPRD hanya jadi stempel kebijakan. Kami harus berani mengawasi eksekutif, meski kadang berhadapan dengan kepentingan.”
Pernyataan itu menunjukkan betapa ia melihat kasus Hanania sebagai titik krusial, bukan sekadar isu teknis
H. Abdillah Nasih bukan sosok baru di politik Sidoarjo. Politisi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) ini sudah lama berkecimpung di dunia legislatif.
Dikenal dekat dengan kalangan pesantren dan aktivis muda, Abdillah sering tampil sebagai juru bicara yang lugas. Ia tidak segan turun langsung ke lapangan, meski posisinya kini sebagai Ketua DPRD.
“Bagi saya, kursi ini bukan singgasana. Kursi ini amanah. Kalau rakyat marah, saya harus mendengarkan,” ujarnya.
Aksi GMNI bukan satu-satunya. Sebelumnya, IMM, HMI, dan PMII juga menggelar unjuk rasa dengan isu serupa: pelayanan publik dan reformasi polisi. Namun kasus Hanania menjadi titik temu berbagai kelompok mahasiswa.
“Ini momentum persatuan gerakan mahasiswa Sidoarjo,” kata seorang aktivis IMM.
Abdillah pun menyadari hal itu. “Saya senang mahasiswa kritis. Tanpa mahasiswa, DPRD bisa terlena. Saya tidak alergi kritik. Justru kritik itu vitamin bagi demokrasi,” ucapnya.
Kasus Hanania membuka ruang diskusi lebih luas: apakah sistem kesehatan di Sidoarjo sudah memadai? Bagaimana pengawasan terhadap klinik-klinik swasta? Sejauh mana DPRD menjalankan fungsi kontrol?
Kini publik menunggu. Satu bulan menjadi tenggat yang menegangkan. Apakah hasil investigasi benar-benar keluar? Apakah ada tindakan nyata? Atau kasus ini akan terhenti di meja birokrasi?
“Kalau tidak ada progres, jangan salahkan mahasiswa jika kami turun lagi dengan massa lebih banyak,” tegas Antonius.
Dalam aksi tersebut, mahasiswa mendesak DPRD memperkuat fungsi pengawasan, khususnya terhadap klinik swasta. Mereka memberi tenggat satu bulan agar investigasi berjalan transparan dan ada hasil yang jelas.
“Kalau tidak ada progres, jangan salahkan mahasiswa jika kami turun lagi dengan massa lebih banyak,” ujar Antonius, koordinator aksi.
Menanggapi hal itu, Abdillah menyatakan DPRD tidak akan tinggal diam. “Gedung ini rumah kalian juga. Tapi saya pastikan, kalian akan melihat langkah nyata nanti,” tegasnya.
Abdillah juga menekankan bahwa tragedi Hanania harus menjadi peringatan bagi semua pihak untuk memperbaiki sistem pelayanan kesehatan. “Hanania sudah pergi. Tapi jangan biarkan anak-anak lain pergi dengan cara yang sama. Ini tugas kita,” ujarnya.
Publik kini menanti realisasi komitmen tersebut. Tenggat satu bulan yang diberikan mahasiswa akan menjadi penentu apakah DPRD mampu menjawab keresahan masyarakat atau kembali menuai kritik.( ADV)
tidak-ada-lagi-korban-ketua-dprd-sidoarjo-tegaskan-dprd-kawal-investigasi-kasus-hanania