Realisasi Belanja Modal NTB Rendah Potensi Hambat Proyek Strategis BERITA WUKONG778 MUSIC

Suharto (AHMAD YANI/RADAR LOMBOK)

MATARAM—Realisasi belanja modal Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Barat (Pemprov NTB) pada semester pertama tahun anggaran 2025 mendapat sorotan tajam dari Badan Anggaran (Banggar) DPRD NTB.

Dalam rapat evaluasi bersama Tim Anggaran Pemerintah Daerah (TAPD) yang digelar di Kantor DPRD NTB, Selasa (26/8/2025), Banggar mengungkapkan bahwa serapan belanja modal baru mencapai 6,64 persen atau sekitar Rp37,9 miliar dari total pagu Rp571 miliar.

Angka tersebut dinilai sangat rendah dan berpotensi menghambat pelaksanaan proyek-proyek strategis, terutama di sektor infrastruktur dasar seperti jalan, fasilitas kesehatan, dan pendidikan.

Anggota Banggar DPRD NTB, Suharto, menyebutkan bahwa rendahnya serapan belanja modal merupakan indikasi adanya persoalan serius dalam perencanaan, proses lelang, dan pelaksanaan fisik di lapangan.

“Kami menduga ada masalah dalam perencanaan dan tender. Keterlambatan ini akan berdampak pada tertundanya pembangunan dan mengurangi multiplier effect terhadap perekonomian daerah,” ujar Suharto, politisi Partai NasDem, Rabu (27/8/2025).

Dalam analisis terhadap laporan realisasi APBD semester I yang terdiri dari 55 halaman, Banggar juga menemukan ketimpangan antara pendapatan dan belanja daerah. Realisasi pendapatan daerah tercatat sebesar 48,31 persen dari target Rp16,184 triliun, sementara belanja daerah baru mencapai 28,99 persen dari total Rp21,826 triliun.

Suharto menilai ketidakseimbangan ini berpotensi menimbulkan Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran (SiLPA) yang tinggi, yang mencerminkan ketidakefisienan dalam pengelolaan fiskal daerah.

“Ini menunjukkan kelemahan dalam manajemen kas daerah. Ketika belanja jauh tertinggal dari pendapatan, maka fungsi APBD sebagai instrumen pembangunan tidak berjalan optimal,” tegasnya.

Banggar juga menyoroti dominasi belanja operasi yang mencapai 96 persen dari total realisasi belanja, atau sekitar Rp6,089 triliun. Belanja ini sebagian besar dialokasikan untuk gaji pegawai serta pengadaan barang dan jasa rutin.

Menurut Suharto, struktur belanja seperti ini tidak produktif dan tidak sejalan dengan amanat Undang-Undang No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, yang menekankan efektivitas pelayanan publik.

“APBD kita terlalu banyak dihabiskan untuk belanja rutin. Padahal, belanja modal seharusnya menjadi prioritas untuk mendorong pembangunan dan pelayanan dasar,” katanya.

Kritik juga diarahkan pada minimnya realisasi Belanja Tidak Terduga (BTT), yang hanya mencapai 0,12 persen atau Rp207 juta dari total anggaran Rp161 miliar. Padahal, NTB dikenal sebagai wilayah yang rawan bencana, sehingga alokasi BTT seharusnya dapat dieksekusi dengan cepat dan tepat.

“Alokasi BTT tidak efektif karena tidak disertai mekanisme eksekusi yang responsif, sebagaimana diatur dalam Permendagri No. 77 Tahun 2020 Pasal 62,” jelas Suharto.

Melihat berbagai kelemahan dalam pelaksanaan APBD semester I, Banggar DPRD NTB memberikan sejumlah rekomendasi strategis kepada TAPD. Di antaranya adalah percepatan proses tender dini, reformasi struktur belanja agar lebih produktif, optimalisasi Pendapatan Asli Daerah (PAD), modernisasi manajemen kas, serta perbaikan mekanisme eksekusi BTT.

“Jika pola ini terus berlanjut, maka APBD NTB tahun 2025 berpotensi tidak efektif dalam mendorong pertumbuhan ekonomi dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat,” pungkas Suharto. (yan)


realisasi-belanja-modal-ntb-rendah-potensi-hambat-proyek-strategis