Konflik antara Bupati Subandi dan Wakil Bupati Mimik Idayana bukan lagi sekadar bisik-bisik politik. Tak butuh waktu lama sejak mereka dilantik 20 Februari 2025, sebulan kemudian benih friksi itu muncul.
Dimulai dari video yang viral berisi ucapan Bupati. “Kene (Bupati dan Wabup) seng nggolek duwik, DPR yang menghambur-hamburkan.” (“Kami yang mencari uang, mereka yang menghambur-hamburkan”-Red). Itu membuka front konflik terbuka dengan DPRD Sidoarjo. Tuntutan agar Bupati meminta maaf muncul dari legislatif. Saat itu keretakan masih belum terlihat di depan publik
Sejak pertengahan Juni 2025, publik mulai melihat celah. Saat rapat paripurna di DPRD Sidoarjo, Bupati menyampaikan permintaan maafnya secara terbuka. Namun Fraksi Partai Gerindra menolaknya. Mimik selaku Ketua DPC Partai Gerindra Jawa Timur mendukung sikap fraksinya di dewan. Meskipun sinyal friksi itu beberapa kali ditepis keduanya, namun publik membaca tanda-tanda yang lain.
Setelah itu, Mimik juga secara terbuka menyampaikan keluhannya: “Sejak awal saya merasa tidak banyak dilibatkan dalam pengambilan keputusan penting. Wakil bupati seharusnya bagian dari kerja tim, bukan sekadar pelengkap.” Subandi menjawab dengan nada tegas: “Kewenangan eksekutif itu ada di tangan bupati, bukan di wakil. Saya hanya menjalankan mandat undang-undang.”
Keretakan itu mencapai titik terang pada 17 September 2025 ketika Subandi merotasi 60 pejabat ASN. Subandi menyebut langkah itu “mutasi wajar untuk penyegaran birokrasi”, sementara Mimik menimpali: “Saya justru baru tahu dari media, masukan saya di tim penilai kinerja tidak pernah diakomodasi.” Dua peristiwa ini memperlihatkan satu hal: duet bupati–wabup di Sidoarjo berjalan tanpa harmoni.
Efeknya langsung terbaca dalam mesin birokrasi. Hingga 9 September 2025, serapan pengadaan baru 41,24 persen, hanya sekitar Rp950 miliar dari pagu Rp2,3 triliun. Angka ini bukan sekadar statistik, melainkan alarm bahwa banyak program publik tersendat.
Program betonisasi di sembilan ruas jalan digembar-gemborkan sebagai solusi banjir dan macet, tapi dengan serapan rendah, progresnya ikut terseret. Pelelangan mundur, pengerjaan fisik belum maksimal, dan janji “rampung dalam tiga bulan” semakin berat dikejar.
Normalisasi sungai dari Kali Pelayaran sampai Porong Kanal memang terlihat rajin diberitakan di musim kemarau, tetapi justru di situlah masalahnya: hasil normalisasi belum teruji. Tanpa drainase yang terintegrasi dan tata kelola sampah yang berkelanjutan, genangan tetap menjadi ancaman begitu musim hujan tiba.
Ini bukan pertama kali friksi di pucuk menghambat pelayanan publik. Di Bojonegoro, 2021–2022, konflik terbuka antara Bupati Anna Mu’awanah dan Wabup Budi Irawanto bahkan sampai ke ranah hukum, dan DPRD kala itu mengakui dampaknya terhadap suasana kerja pemerintahan.
Di Tasikmalaya, 2025, Bupati Ade Sugianto melaporkan wakilnya ke polisi atas dugaan pemalsuan dokumen, dan KPPOD menilai disharmoni itu merusak stabilitas pemerintahan daerah. Polanya sama: perpecahan di atas menjalar ke bawah, memperlambat pembangunan yang seharusnya menyentuh warga.
Masyarakat Sidoarjo kini menghadapi risiko serupa. Jalan berlubang belum tuntas, sampah menumpuk, dan sungai menunggu waktu untuk kembali meluap di musim hujan. Hak publik atas layanan dasar: jalan yang aman, lingkungan bersih, drainase yang berfungsi, seakan jadi korban tarik-menarik kuasa.
Pertanyaannya sederhana: apakah warga harus menunggu kedua pemimpinnya akur dulu sebelum bisa merasakan layanan yang memang sudah menjadi hak mereka?
Friksi bupati–wabup bukan semata soal dua pribadi yang berseberangan, melainkan soal moral politik. Sejauh mana mereka mau menyingkirkan ego demi tanggung jawab kepada publik? Kalau tidak, pemerintahan akan terus berjalan setengah hati, dan rakyat lagi-lagi menjadi pihak yang paling dirugikan.
Eddy Prastyo | Editor in Chief | Suara Surabaya Media
“Mereka sibuk saling menyilaukan, kita yang merasakan silapnya.”
nyala-matahari-kembar-sidoarjo-yang-membakar-rakyatnya