Menkeu Baru dan Seni Berbicara yang Lupa Empati BERITA WUKONG778 MUSIC

Hari pertama menjabat, Purbaya Yudhi Sadewa Menteri Keuangan langsung mengeluarkan kalimat tentang tuntutan 17+8 yang jadi sorotan: “Itu suara sebagian kecil rakyat kita… nanti kalau ekonomi tumbuh 6–7 persen, mereka akan sibuk kerja dan makan enak dibandingkan mendemo.”

Ucapan ini bukan sekadar “slip of the tongue”. Ia menjadi potret bagaimana seorang pejabat baru, dengan jabatan strategis, bisa kehilangan kepekaan membaca batin rakyat.

Sebagai mantan eksekutif di berbagai lembaga ekonomi negara, mestinya Purbaya terbiasa menangkap gejala pasar. Pasar bukan sekadar angka inflasi atau grafik pertumbuhan. Pasar adalah cermin dari suara, keresahan, bahkan luka kolektif yang bergemuruh di jalanan atau transaksi di pasar. Pekerjaan barunya kini bukan hanya meracik kebijakan teknokratis, tapi juga mengekspresikan empati lewat kata dan sikap. Karena setiap pernyataan Menteri Keuangan tak pernah berdiri di ruang hampa; ia langsung ditangkap sebagai sinyal, baik oleh pelaku pasar maupun oleh pemberi mandat kedaulatan ekonomi: rakyat.

Kita tentu mengerti setiap pejabat punya gaya komunikasi yang khas, dengan otentisitasnya masing-masing. Namun, ketika sudah memegang jabatan strategis, gaya itu tak lagi sepenuhnya milik pribadi. Lidah yang keseleo, gesture yang salah arah, bisa menjadi api yang menyulut kegelisahan.

Dunia sudah memberi banyak contoh: ucapan tergesa Kwasi Kwarteng Menteri Keuangan Inggris pada 2022 soal pemangkasan pajak tanpa hitungan matang langsung mengguncang poundsterling dan menjatuhkan reputasinya. Atau kalimat Janet Yellen Menteri Keuangan Amerika Serikat di masa awal pandemi yang sedikit meremehkan inflasi, berbulan-bulan kemudian berbalik menghantam kredibilitas The Fed dan Departemen Keuangan AS.

Indonesia tidak bisa jatuh pada lubang yang sama. Kita butuh pejabat yang tidak hanya mahir berhitung, tapi juga piawai berbahasa. Komunikasi ekonomi bukanlah brosur iklan yang bisa dikoreksi keesokan hari, melainkan denyut yang langsung berdampak ke kantong rakyat dan psikologi pasar.

Di sinilah kunci yang mestinya disadari Purbaya: komunikasi bukan sekadar verbal, melainkan bahasa tubuh, nada suara, dan yang lebih penting, rasa batin. Rakyat sedang marah bukan hanya karena lapar, tapi karena merasa disepelekan. Maka, kata-kata yang diucapkan pejabat semestinya memikul dua beban sekaligus: memberi arah kebijakan dan memberi penghiburan moral.

Barangkali yang paling mendesak bukan sekadar target pertumbuhan 6–8 persen, melainkan pertumbuhan empati dalam cara berkomunikasi. Sebab rakyat tak hanya ingin mendengar janji angka, tapi juga ingin merasa diakui dalam deritanya. Di situlah seni berbicara pejabat publik diuji. Bukan pada retorika canggih, melainkan pada kesanggupan menyalurkan rasa, menyulam kata dengan kebijakan, agar publik merasa dilibatkan, bukan dikecilkan.

Eddy Prastyo | Editor in Chief | Suara Surabaya Media

“Menkeu seharusnya bicara bukan sekadar soal angka, tapi soal rasa.”


menkeu-baru-dan-seni-berbicara-yang-lupa-empati