Oleh: Dr. Deviana Mayasari, S.Pd., M.Si
Dosen FISIP Universitas Brawijaya
Pernikahan dini masih menjadi persoalan serius di sejumlah daerah di Indonesia. Data Kementerian Kesehatan menunjukkan bahwa sekitar 26 persen perempuan di negeri ini menikah di bawah usia 19 tahun. Angka ini menempatkan Indonesia di peringkat ke-7 dunia dan ke-2 di ASEAN dalam kasus perkawinan anak.
Khusus di Nusa Tenggara Barat (NTB), masalah ini bahkan lebih mengkhawatirkan. Suara NTB mencatat, provinsi ini menyumbang 14 persen dari total kasus pernikahan anak secara nasional pada 2024, meskipun ada penurunan dibandingkan 17 persen pada tahun sebelumnya. Rinciannya, Lombok Tengah menjadi penyumbang terbesar dengan 29 persen, disusul Lombok Timur 21 persen, dan Lombok Utara 16 persen.
Akar Masalah yang Tak Sederhana
Pernikahan dini tidak muncul begitu saja. Ada faktor ekonomi, ketika keluarga menikahkan anak demi mengurangi beban hidup, padahal pasangan muda kerap belum siap secara finansial. Ada pula faktor pendidikan, karena menikah di usia belia hampir selalu membuat anak putus sekolah. Dari sisi budaya, masih ada stigma bahwa perempuan yang belum menikah di usia tertentu dianggap “perawan tua.”
Lebih parah lagi, minimnya pemahaman tentang dampak kesehatan dan psikologis membuat pernikahan dini dianggap hal biasa. Padahal, risiko kehamilan remaja sangat tinggi, dan secara mental anak rentan mengalami stres, depresi, hingga kekerasan dalam rumah tangga.
Menikah Dini Bukanlah Solusi
Seringkali pernikahan dini dianggap jalan keluar dari kemiskinan atau tekanan sosial. Nyatanya, praktik ini justru melanggengkan masalah. Anak-anak kehilangan hak atas pendidikan dan tumbuh kembang, serta terjebak dalam lingkaran kemiskinan baru.
Jika dibiarkan, kita tidak hanya kehilangan potensi generasi muda, tetapi juga merusak kualitas sumber daya manusia bangsa di masa depan.
Upaya Bersama, Bukan Sekadar Sosialisasi
Beberapa waktu lalu, saya bersama pemuda di Desa Rempung, Kecamatan Pringgasela, Lombok Timur, mengadakan sosialisasi tentang pencegahan pernikahan dini dan perlindungan hukum bagi anak. Kami berbagi informasi, berdiskusi, dan mengajak masyarakat untuk lebih peduli pada masa depan generasi muda.
Namun, langkah kecil seperti ini tidak cukup jika tidak dibarengi upaya kolektif. Pemerintah daerah harus hadir dengan regulasi tegas. Sekolah wajib memperkuat pendidikan kesehatan reproduksi. Tokoh agama dan masyarakat pun perlu berani menolak praktik pernikahan anak atas nama budaya atau tradisi.
Menjaga Masa Depan Bersama
Anak-anak adalah aset bangsa, bukan beban. Mereka berhak menikmati masa remaja, mendapatkan pendidikan, dan menggapai cita-cita. Menikahkan anak di usia dini berarti merampas hak itu.
Pencegahan pernikahan dini harus menjadi gerakan bersama. Jika konsisten dilakukan, maka angka perkawinan anak di NTB bisa ditekan, dan kita semua ikut menjaga masa depan Indonesia agar lebih cerah. (*)
menjaga-masa-depan-anak-bangsa