
Jakarta, 08/9 (ANTARA)–Di lereng Gunung Kerinci, Aceh, hamparan tanaman kopi tumbuh di bawah rindangnya pepohonan surian dan kayu manis, membentuk mosaik hijau menyerupai hutan alami.
Sementara itu, di Jawa Barat, petani teh di Desa Cikoneng menggunakan kompos dan pestisida nabati alih-alih bahan kimia sintetis, agar tanaman teh tumbuh sehat tanpa mencemari lingkungan sekitarnya.
Dari Sumatra hingga Papua, berbagai penjuru Nusantara tengah menggeliat dengan praktik perkebunan baik demi konservasi lingkungan maupun keberlanjutan pertanian. Inisiatif-inisiatif ini tidak hanya berdampak positif bagi ekosistem, tetapi juga memperkuat ketahanan pangan, mendukung masyarakat lokal, dan meningkatkan citra Indonesia di mata dunia.
Komoditas perkebunan rakyat seperti kopi, teh, kakao, hingga pala dan lada telah banyak bertransformasi dengan menerapkan kearifan berkelanjutan. Di dataran tinggi Sumatra, para petani kopi memelopori sistem wanatani (agroforestry) yang menyelaraskan perkebunan dengan ekosistem hutan.
Contoh nyata terlihat di lereng Gunung Kerinci (Jambi) dan Gayo (Aceh), dua kawasan penghasil kopi arabika unggulan. Pola agroforestri telah menciptakan ekosistem kebun yang menyerupai hutan mini, sehingga burung, serangga penyerbuk, hingga jamur tanah tetap lestari.
Kolaborasi alam dan komunitas
Di Kerinci, para petani kopi juga beralih ke pupuk organik yang dibuat dari kompos kulit kopi dan kotoran ternak, serta menerapkan Pengendalian Hama Terpadu (PHT). Dengan cara ini, penggunaan pupuk dan pestisida kimia berkurang drastis.
Dampaknya nyata, kualitas biji kopi meningkat, biaya produksi turun, dan lingkungan sekitar lebih terlindungi. Bahkan konflik manusia dengan satwa liar, seperti gangguan babi hutan atau beruang, dilaporkan menurun karena lahan pertanian terintegrasi dengan zona penyangga taman nasional. Inisiatif kopi lestari ini menegaskan bahwa praktik ramah lingkungan dapat berjalan seiring dengan peningkatan kualitas produk.
Kunci keberhasilan inisiatif kopi ini terletak pada pengetahuan dan organisasi petani. Koperasi-koperasi lokal seperti ALKO (Asosiasi Lestari Kerinci Organik) rutin mengadakan pelatihan budidaya ramah lingkungan, manajemen pascapanen, hingga tata cara traceability produk.
Petani diajak mencatat aktivitas kebunnya secara transparan, mempersiapkan diri menghadapi sertifikasi organik atau fair trade. Lebih dari itu, ada pula pemberdayaan pemuda dan perempuan: generasi muda dilatih menjadi cupping tester bersertifikat atau wirausaha kopi, sementara para ibu berperan penting dalam pengolahan dan pemasaran. Dengan cara ini, regenerasi petani terjaga, komunitas makin tangguh, dan masyarakat bangga menjadi penjaga hutan sekaligus penghasil kopi bernilai ekspor.
Sementara itu, di Jawa Barat dan Sumatera Utara, perkebunan teh yang sarat sejarah mulai mengadopsi inovasi hijau untuk menjawab tantangan abad ke-21. PTPN VIII misalnya, telah mengonversi sebagian kebun menjadi kebun teh organik bersertifikat pada tahun 2022.
Langkah awal dilakukan dari tanah, dimana pupuk kompos, pupuk kandang, dan bio-fertilizer menggantikan pupuk kimia, sementara gulma dikendalikan secara mekanis atau dengan mulsa alami.
Hama penyakit ditangani dengan pestisida nabati dan perlindungan musuh alami seperti burung pemangsa serangga. Hasilnya, pencemaran tanah dan air berkurang, biodiversitas lebih terjaga, dan kualitas daun teh meningkat.
Petani rakyat di Ciwidey, Pengalengan, hingga Cikoneng, Ciamis, juga mulai mengadopsi pengomposan massal, pemangkasan terukur, serta hanya menggunakan pupuk organik. Bahkan, pilot project teh ramah lingkungan di Cikoneng berhasil menembus pasar ekspor dengan label organik.
Tak ketinggalan, kakao yang lama menjadi andalan petani Sulawesi dan Sumatra juga berbenah menuju keberlanjutan. Permasalahan pohon tua, serangan hama VSD dan PBK, hingga alih fungsi lahan direspons melalui program Lanskap Kakao-Kopi Berkelanjutan (LASCARCOCO).
Petani diajak menanam kakao dan kopi tumpangsari dengan pohon penaung atau tanaman bernilai ekonomi lain, sehingga pendapatan lebih beragam dan ekosistem pulih. Targetnya, 14.000 hektare daerah aliran sungai dan vegetasi penyangga direstorasi hingga 2025. Produk kakao hasil program ini juga dijamin terserap pasar premium.
Kisah serupa juga terjadi di Gorontalo yang menunjukkan bahwa agroforestri kakao bukan hanya meningkatkan pendapatan, tetapi juga menjaga habitat satwa endemik. Dengan cara ini, kakao Indonesia perlahan bertransformasi menjadi green cocoa yang diminati dunia.
Merawat satwa dan iklim
Komoditas karet alam sering luput dari sorotan dibanding sawit atau kopi, padahal Indonesia adalah salah satu produsen utama dunia. Di balik ketenangannya, sektor ini telah mengadopsi praktik-praktik lestari yang patut dihargai.
Secara ekologis, pohon karet (Hevea brasiliensis) unggul, dimana usia produktifnya panjang (25–30 tahun), menyerap karbon dioksida dalam jumlah besar, sembari menghasilkan lateks.
Penelitian Balitbang Kehutanan (2010) bahkan mencatat daya serap CO₂ kebun karet sekitar 14,24 ton/ha/tahun, melampaui hutan alam usia muda (~7,34 ton/ha/tahun). Dengan pengelolaan yang tepat, tanpa ekspansi ke hutan bernilai konservasi, perkebunan karet berperan sebagai carbon sink penting dalam mitigasi perubahan iklim.
Menyadari potensi itu, lahir berbagai kemitraan untuk memastikan perluasan karet tanpa deforestasi. Desain lanskapnya mencakup koridor satwa bagi gajah, harimau, dan orangutan. Sebagian areal disisihkan menjadi jalur hijau agar satwa dapat bermigrasi aman.
Di Jambi, koridor gajah menghubungkan patch hutan tersisa sehingga konflik dengan warga menurun, panen karet terlindungi, dan patroli anti-perburuan diperkuat. Lebih luas, pemerintah dan lembaga riset mendorong agroforestri karet sebagai arsitektur lanskap yang tangguh.
Petani kecil didorong menanam karet bersama pohon kehutanan atau tanaman sela bernilai ekonomi. Pola tumpangsari ini menambah cadangan karbon pada tanah dan vegetasi, sekaligus mendiversifikasi sumber pendapatan.
Dari koridor satwa hingga talun karet, mozaik praktik ini menjaga bentang alam tetap hijau di tengah kebun produksi, menyeimbangkan fungsi ekonomi dan ekologis sekaligus.
Menuai manfaat ekosistem
Rangkaian praktik baik di sektor perkebunan Indonesia telah membawa dampak positif berlapis, terutama dari sisi ekologis. Pendekatan berkelanjutan terbukti memulihkan layanan ekosistem penting yaitu pengurangan pestisida kimia dan pola tumpangsari meningkatkan kesuburan tanah, menyehatkan mikroorganisme, serta menjaga produktivitas lahan secara alami.
Konservasi hutan di sekitar perkebunan menjamin kelestarian keanekaragaman hayati. Spesies lokal seperti burung hantu di kebun sawit atau lebah penyerbuk di kebun kopi mendapat habitat yang aman dan berperan menjaga keseimbangan ekosistem. Air juga terlindungi dimana sungai dan mata air di kawasan organik relatif bebas polusi kimia, sehingga tetap bermanfaat bagi irigasi sawah dan kebutuhan masyarakat.
Dari perspektif ekonomi dan sosial, keberlanjutan justru memperkuat daya tahan pertanian sekaligus kesejahteraan. Tanaman yang lebih sehat mendorong produktivitas jangka panjang, sementara diversifikasi usaha, seperti tumpangsari kopi dengan alpukat atau karet dengan kayu sengon menjadi penyangga ketika harga komoditas tertentu merosot.
Program sertifikasi dan kemitraan membuka akses pasar internasional berharga premium, sehingga kopi dan teh organik Indonesia kini diminati konsumen global.
Keikutsertaan petani dan pemerintah Indonesia dalam beberapa konferensi dunia pun telah mempertegas narasi dan citra positif tentang kelestarian dalam tatakelola perkebunan nasional. (Oleh Kuntoro Boga Andri/Editor: Dadan Ramdani)
*) Kuntoro Boga Andri adalah Direktur Hilirisasi Hasil Perkebunan, Kementerian Pertanian
menguatkan-kebun-rakyat-dan-menjaga-alam