Kenapa Bahasa Pemerintah dan Publik “Nggak Nyambung”? BERITA WUKONG778 MUSIC

Pati beberapa waktu lalu menjadi laboratorium sosial kecil yang ramai: rencana kenaikan PBB hingga 250 persen langsung memicu gejolak. Angka itu, bagi pemerintah daerah, hanyalah rumus fiskal untuk menutup defisit. Tapi bagi warga, itu bunyi sirene di dapur. Tiba-tiba pengeluaran rutin melonjak, tanpa sempat merasa ada peningkatan layanan di jalanan atau fasilitas umum.

Di Surabaya, wacana penggunaan CCTV kasir untuk mengawasi pajak daerah menghadirkan wajah lain dari problem yang sama: teknologi kontrol fiskal dibaca warga bukan sebagai modernisasi, melainkan sebagai tanda ketidakpercayaan dan masuknya negara ke ruang pribadi, yang sebenarnya sudah diatur dalam perundangan.

Padahal, kalau kita melihat angka besar negara, defisit kita sebenarnya terkendali. Tahun 2023 sekitar 1,6 persen PDB, 2024 di kisaran 2,3 persen, dan outlook 2025 mendekati 2,8 persen.

Angka itu jauh di bawah batas 3 persen yang disepakati bersama dalam undang-undang. Dibandingkan dengan Amerika Serikat atau Inggris yang defisitnya di atas 5 persen PDB, kita ini konservatif. Dan fondasi makro kita pun tidak runtuh: pertumbuhan stabil di kisaran 5%, inflasi rendah, angka kemiskinan dan pengangguran menurun, ketimpangan sedikit membaik.

Semua data formal memberi kabar baik.

Lalu mengapa publik justru resah, bahkan sinis, setiap kali pemerintah bicara soal intensifikasi atau ekstensifikasi pajak, retribusi, dan pungutan baru?

Apa yang sebenarnya tidak nyambung di sini?

Sebagian jawabannya ada pada bahasa. Pemerintah bicara dengan kosakata makro: defisit terkendali, fiskal sehat, countercyclical.

Publik bicara dengan kosakata mikro: uang sekolah anak, biaya parkir, tarif sampah. Defisit negara adalah instrumen kebijakan, tapi defisit rumah tangga adalah soal hidup-harian. Perbedaan bahasa ini menimbulkan jarak yang membuat rasionalisasi fiskal terdengar dingin, bahkan curang.

Sebagian lagi ada pada kepercayaan. Warga terbiasa melihat pungutan naik tanpa layanan ikut naik. Mereka membawa memori panjang tentang pajak dan pungutan yang pernah digunakan bukan untuk pelayanan, melainkan untuk menutup lubang politik. Maka ketika pemerintah bicara soal “optimalisasi PAD”, yang sampai di telinga publik adalah “tagihan baru yang belum tentu kembali”.

Ini juga soal pengalaman sosial dan kultur politik. Kita terbiasa dengan kebijakan fiskal yang top-down, minim deliberasi. Publik jarang diajak bicara sebelum keputusan dibuat. Akibatnya, setiap kenaikan tarif dianggap paksaan, bukan kontrak sosial.

Apa yang seharusnya dilakukan?

Pemerintah perlu menurunkan bahasa makro ke bukti mikro. Setiap kebijakan fiskal harus diikuti dengan narasi yang menyentuh keseharian, contohnya : kenaikan Rp10 ribu retribusi sampah = penambahan sekian armada pengangkut tambahan di gang anda, 1 % kenaikan PBB = perbaikan drainase di kampung anda.

Publik butuh bukti kasat mata, bukan sekadar angka di APBD, dan itu dilaksanakan sebagai bukti atas janji penyebutan angka. Dengan jadwal dan sistem kerja yang diketahui publik.

Ini perlu dilakukan karena informasi bertebaran di jagad internet, mulai data sahih yang mungkin sulit dimaknai, sampai ke penerjemahan data yang “provokatif” membiaskan makna dalam akal budi publik.

Di sisi lain, supaya terjadi pertemuan makna dalam bahasa, publik juga perlu naik kelas dalam literasi fiskal. Membaca defisit bukan sebagai kebangkrutan, melainkan sebagai strategi bertumbuh yang wajar dalam tata kelola modern.

Defisit adalah alat, bukan tujuan. Ia bisa menjadi jembatan ke masa depan, tapi hanya jika pemerintah dan publik mau bertemu di satu titik: komunikasi yang jujur, narasi yang membumi, dan layanan yang nyata.

Tanpa itu, setiap angka surplus pun akan tetap terasa sebagai defisit—defisit kepercayaan.

Eddy Prastyo | Editor in Chief | Suara Surabaya Media

“Saat pemerintah bicara data, publik mendengar jarak.”


kenapa-bahasa-pemerintah-dan-publik-nggak-nyambung