MATARAM — Anggota Komisi IV DPRD Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) yang membidangi sektor perhubungan, Syamsul Fikri, melontarkan kritik tajam terhadap kebijakan penerapan Surat Perintah Berangkat (SPB) bagi kapal penyeberangan di lintasan Pelabuhan Kayangan (Lombok Timur) dan Poto Tano (Sumbawa Barat).
Fikri mendesak agar kebijakan tersebut segera dicabut, karena dinilai tidak efektif dan justru menyulitkan masyarakat. Dimana menurutnya, SPB yang diberlakukan oleh pihak Syahbandar setempat telah menimbulkan dampak negatif terhadap pelayanan transportasi laut, terutama dalam hal efisiensi waktu dan respons terhadap kondisi darurat.
“Bayangkan kalau penumpang membludak atau ada pasien dalam ambulans yang butuh penanganan cepat. Prosedur SPB yang berbelit bisa jadi penghambat. Ini bukan sekadar soal regulasi, tapi soal nyawa dan kepentingan masyarakat,” tegas politisi Partai Demokrat NTB, Selasa (26/8/2025).
Fikri menegaskan bahwa desakan pencabutan SPB bukanlah pendapat pribadi semata, melainkan hasil dari banyaknya keluhan dan aspirasi masyarakat yang diterima oleh pihaknya.
Ia menyebut bahwa penumpang dan warga yang bergantung pada transportasi laut lintas pulau merasa terganggu dengan sistem yang dinilai tidak praktis.
“Banyak yang mengeluh. Ini suara rakyat. Sebagai wakil mereka di parlemen, saya wajib menyuarakan aspirasi ini,” ujar Fikri, yang mewakili daerah pemilihan (Dapil) Kabupaten Sumbawa Barat (KSB) dan Kabupaten Sumbawa ini.
Lebih lanjut, Fikri mengungkapkan bahwa proses keberangkatan kapal kini memakan waktu yang cukup lama. Kapal harus menunggu persetujuan dari Syahbandar sebelum bisa berlayar, dan bahkan saat akan sandar pun harus menunggu instruksi tambahan. Total waktu tunggu bisa mencapai 1,5 hingga 2 jam.
“Ini sangat tidak efisien. Harusnya sistem dibuat lebih simpel, cepat, dan tetap menjamin keamanan serta kenyamanan. Bukan malah ribet dan menyita waktu,” keluhnya.
Meski demikian, Fikri mengapresiasi sistem pelayanan online seperti pembelian tiket yang dinilai sudah cukup baik dan memudahkan masyarakat.
Selain menyoroti SPB, Fikri juga mengangkat isu lain yang tak kalah penting, kelayakan kapal penyeberangan. Ia menilai masih banyak kapal tua yang beroperasi meski kondisinya sudah tidak layak.
“Kondisi kapal harus dikroscek secara menyeluruh. Kalau sudah tua dan tidak layak, jangan dipaksakan beroperasi. Keselamatan penumpang adalah prioritas utama,” tegasnya.
Untuk menindaklanjuti berbagai persoalan tersebut, Komisi IV DPRD NTB berencana memanggil pihak Dinas Perhubungan Provinsi NTB dan pihak Syahbandar dalam waktu dekat. Tujuannya adalah untuk meminta klarifikasi sekaligus mendorong perubahan kebijakan yang lebih berpihak kepada masyarakat.
“Kami akan undang Dishub dan Syahbandar untuk membahas ini secara serius. Jangan sampai kebijakan yang dibuat justru menyusahkan masyarakat,” pungkas Fikri. (yan)
MATARAM—Anggota Komisi IV DPRD Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) yang membidangi sektor perhubungan, Syamsul Fikri, melontarkan kritik tajam terhadap kebijakan penerapan Surat Perintah Berangkat (SPB) bagi kapal penyeberangan di lintasan Pelabuhan Kayangan (Lombok Timur) dan Poto Tano (Sumbawa Barat).
Fikri mendesak agar kebijakan tersebut segera dicabut, karena dinilai tidak efektif dan justru menyulitkan masyarakat. Dimana menurutnya, SPB yang diberlakukan oleh pihak Syahbandar setempat telah menimbulkan dampak negatif terhadap pelayanan transportasi laut, terutama dalam hal efisiensi waktu dan respons terhadap kondisi darurat.
“Bayangkan kalau penumpang membludak atau ada pasien dalam ambulans yang butuh penanganan cepat. Prosedur SPB yang berbelit bisa jadi penghambat. Ini bukan sekadar soal regulasi, tapi soal nyawa dan kepentingan masyarakat,” tegas politisi Partai Demokrat NTB, Selasa (26/8/2025).
Fikri menegaskan bahwa desakan pencabutan SPB bukanlah pendapat pribadi semata, melainkan hasil dari banyaknya keluhan dan aspirasi masyarakat yang diterima oleh pihaknya.
Ia menyebut bahwa penumpang dan warga yang bergantung pada transportasi laut lintas pulau merasa terganggu dengan sistem yang dinilai tidak praktis.
“Banyak yang mengeluh. Ini suara rakyat. Sebagai wakil mereka di parlemen, saya wajib menyuarakan aspirasi ini,” ujar Fikri, yang mewakili daerah pemilihan (Dapil) Kabupaten Sumbawa Barat (KSB) dan Kabupaten Sumbawa ini.
Lebih lanjut, Fikri mengungkapkan bahwa proses keberangkatan kapal kini memakan waktu yang cukup lama. Kapal harus menunggu persetujuan dari Syahbandar sebelum bisa berlayar, dan bahkan saat akan sandar pun harus menunggu instruksi tambahan. Total waktu tunggu bisa mencapai 1,5 hingga 2 jam.
“Ini sangat tidak efisien. Harusnya sistem dibuat lebih simpel, cepat, dan tetap menjamin keamanan serta kenyamanan. Bukan malah ribet dan menyita waktu,” keluhnya.
Meski demikian, Fikri mengapresiasi sistem pelayanan online seperti pembelian tiket yang dinilai sudah cukup baik dan memudahkan masyarakat.
Selain menyoroti SPB, Fikri juga mengangkat isu lain yang tak kalah penting, kelayakan kapal penyeberangan. Ia menilai masih banyak kapal tua yang beroperasi meski kondisinya sudah tidak layak.
“Kondisi kapal harus dikroscek secara menyeluruh. Kalau sudah tua dan tidak layak, jangan dipaksakan beroperasi. Keselamatan penumpang adalah prioritas utama,” tegasnya.
Untuk menindaklanjuti berbagai persoalan tersebut, Komisi IV DPRD NTB berencana memanggil pihak Dinas Perhubungan Provinsi NTB dan pihak Syahbandar dalam waktu dekat. Tujuannya adalah untuk meminta klarifikasi sekaligus mendorong perubahan kebijakan yang lebih berpihak kepada masyarakat.
“Kami akan undang Dishub dan Syahbandar untuk membahas ini secara serius. Jangan sampai kebijakan yang dibuat justru menyusahkan masyarakat,” pungkas Fikri. (yan)
dewan-desak-pencabutan-spb-kapal-penyeberangan