Pekan ini, Zulkifli Hasan (Zulhas) Menteri Koordinator bidang Pangan Indonesia datang membawa harapan yang terdengar sederhana namun besar: likuiditas Rp200 triliun yang ditempatkan pemerintah di bank-bank Himbara bukan sekadar angka di neraca, dana jumbo itu di antaranya bisa jadi “bensin” untuk menggerakkan Koperasi Merah Putih.
“Pemerintah telah menyalurkan Rp200 triliun ke Himbara,” ujarnya, sembari mendesak percepatan kredit untuk koperasi desa agar tidak mengendap di bank. Ia juga menyebut 16 ribu unit yang “siap operasional” akan ikut kecipratan dana ini. Pesan utamanya gamblang: modal sudah ada, tinggal digelontorkan cepat ke lapangan.
Di atas kertas, kita ingin percaya. Likuiditas murah, bahkan sebagian dibahas akan dipatok berbunga sangat rendah kepada bank, mestinya memberi ruang bagi kredit koperasi tanpa menekan margin perbankan. Namun regulator mengingatkan agar tidak terpeleset oleh optimisme.
OJK menegaskan bank tetap wajib menerapkan manajemen risiko terukur atas dana penempatan Rp200 triliun ini; tujuan menaikkan kredit tidak boleh mengorbankan kualitas aset. Artinya, kunci ada pada seleksi, underwriting, dan disiplin penyaluran, bukan pada gempita angka yang mengalir deras.
Di sinilah lubang-lubang menganga.
Pertama, ketidak”bankable”-an koperasi baru. Banyak Koperasi Merah Putih dibentuk “dari nol”. Struktur, SDM, dan rekam jejak belum teruji. Ajib Hamdani dari Apindo mengingatkan koperasi model begini berpeluang gagal memenuhi 5C perbankan (character, capacity, capital, collateral, condition). Jika penyaluran dipaksakan, bank bisa terganggu secara teknis dan prudent. Ini bukan soal sentimen, melainkan tata kelola risiko yang menjadi tulang punggung stabilitas perbankan.
Kedua, risiko kredit macet terakumulasi. Riset CELIOS memproyeksikan potensi gagal bayar koperasi Merah Putih hingga Rp85,96 triliun dalam enam tahun, dengan asumsi profil risiko menyerupai UMKM. Angka ini bukan untuk menakut-nakuti, tetapi alarm bahwa skala program, ketika bertemu kelembagaan yang masih belajar berjalan, dapat menimbulkan beban jangka menengah bagi bank dan, pada akhirnya, fiskal. “Terdapat risiko gagal bayar… sebesar Rp85,96 triliun,” tulis CELIOS dalam rilisnya.
Ketiga, ambiguitas institusional di desa. Beberapa analis menyoroti tumpang tindih fungsi koperasi Merah Putih dengan lembaga eksisting seperti BUMDes. Tanpa desain integrasi yang jelas, jalur distribusi komoditas dan perputaran kas bisa saling berebut kewenangan, memicu friksi politik lokal, dan pada gilirannya mempersulit verifikasi arus barang-uang yang dibutuhkan bank. Ketika arsitektur kelembagaan kabur, akuntabilitas ikut kabur: siapa menanggung stok, siapa menagih, dan siapa bertanggung jawab saat default?
Keempat, moral hazard kebijakan. Ketika publik mendengar “dana pemerintah ditempatkan di bank untuk koperasi,” sebagian pelaksana bisa salah menafsirkan: dana terasa seperti hibah, bukan utang yang wajib dikembalikan.
Di titik ini, janji penjaminan atau back-up anggaran desa jika default justru berpotensi mengendurkan disiplin kredit. OJK benar mengingatkan: pengawasan harus ketat, risk management jangan dilonggarkan hanya karena ada embel-embel program strategis.
Apakah berarti program ini mustahil? Tidak. Tapi jika harus jalan cepat, ada tiga kunci menutup celah.
Pertama, underwriting berbasis transaksi nyata, bukan berbasis nama program. Kredit koperasi harus diikat pada arus kas yang bisa diverifikasi: kontrak suplai LPG subsidi, pupuk, atau pangan; jadwal pembayaran; hingga escrow/rekening bersama yang otomatis menyapu pembayaran ke bank. Dengan begitu, bank membiayai arus barang-uang yang terukur, bukan “harapan baik” kelembagaan baru. OJK sudah memberi rambu, tinggal diejawantahkan ke SOP kredit yang ketat.
Kedua, standarisasi tata kelola dan SDM koperasi sebelum pencairan masif. Ini berarti kewajiban minimal: laporan keuangan berbasis aplikasi, audit eksternal tahunan untuk koperasi di atas ambang plafon, sertifikasi pengurus keuangan, dan pengawasan near-real time atas stok & piutang. Tanpa baseline governance, angka Rp85,96 triliun bukan sekadar proyeksi—ia bisa menjadi nasib. Temuan CELIOS justru harus dijadikan stress-test untuk menentukan plafon, tenor, dan suku bunga efektif per segmen koperasi.
Ketiga, ring-fencing fiskal dan transparansi publik. Bila ada back-up dari dana desa atau skema penjaminan, maka trigger pencairan penjaminan harus ketat, bertahap, dan disertai publikasi kasus serta sanksi tegas bagi pengelola yang lalai. Tanpa itu, penjaminan berubah menjadi blanket guarantee yang mengundang moral hazard. Di sisi lain, laporan penyerapan dana penempatan Rp200 T perlu dipublikasikan periodik: berapa porsi masuk ke koperasi, NPL per klaster, dan remedial yang berjalan. Ini bukan sekadar soal transparansi. Ini alat belajar bersama agar kurva risiko segera melandai.
Akhirnya, kita kembali ke kalimat pembuka: dana besar tidak otomatis melahirkan dampak besar. Harapan Zulhas bahwa likuiditas murah akan mengalir cepat ke desa itu wajar, bahkan perlu, di saat harga-harga perlu dijaga dan usaha kecil membutuhkan napas.
Namun good policy lahir bukan dari angka, melainkan dari mekanisme yang sanggup mengubah angka menjadi manfaat tanpa menyisakan api di bawah meja. Jika likuiditas adalah bensin, maka tata kelola adalah rem dan kemudi. Tanpa rem, kita melaju kencang menuju jurang NPL; tanpa kemudi, kita berputar di lapangan tanpa sampai ke sawah, pasar, dan dapur warga.
Di antara dua ekstrem itu, negara ditantang membuktikan bahwa program kerakyatan bisa dikerjakan dengan disiplin perbankan yang sama kerasnya, agar “koperasi” tidak kembali menjadi kata indah yang dipakai saat lahir, lalu ditinggalkan ketika menagihnya terasa tidak populer.
Eddy Prastyo | Editor in Chief | Suara Surabaya Media
“Koperasi Merah Putih butuh rem & kemudi, bukan sekadar bensin.”
dana-besar-jalan-kecil-menguji-akal-sehat-pembiayaan-koperasi-merah-putih-dari-injeksi-himbara