Burden Sharing: Keran Darurat yang Dibuka Lagi BERITA WUKONG778 MUSIC

Bayangkan kalau uang di pasar tiba-tiba bertambah banyak. Harga beras, cabai, sampai cicilan rumah bisa ikut naik. Peredaran uang lebih banyak daripada barang yang diproduksi.

Itulah yang dikhawatirkan orang setiap kali Bank Indonesia (BI) “mencetak uang” untuk membantu pemerintah. Bukan selalu lembaran rupiah baru, tapi saldo segar yang muncul di sistem keuangan. Uang ini bikin APBN lebih lega, tapi kalau kebanyakan beredar, ujung-ujungnya rakyat yang harus bayar lewat inflasi.

Sekarang keran itu mau dibuka lagi. Pemerintah dan BI sepakat menjalankan skema “burden sharing“: BI ikut menanggung bunga utang lewat rekayasa penempatan dana dan bagi-bagi biaya. Pemerintah bilang, ini cara agar pembiayaan program ekonomi kerakyatan, seperti pembangunan perumahan rakyat, penguatan koperasi desa Merah Putih, dan berbagai inisiatif lain dalam kerangka Asta Cita tetap jalan tanpa bunga setinggi pasar. BI menegaskan, caranya beda dengan 2020, jadi tidak langsung membeli obligasi di pasar perdana yang identik dengan “mencetak uang” darurat.

Kenapa ini dilakukan? Karena APBN sedang ketat. Kalau semua utang ditutup dari uang di pasar, bunganya mahal. Dengan burden sharing, pemerintah dapat ruang bernapas. Bagi BI, ini disebut sinergi: bukan membiayai langsung APBN, tapi mengurangi beban lewat trik bunga.

Secara hukum, BI memang dilarang membeli obligasi pemerintah. Prinsip independensi bank sentral menempatkan BI sebagai otoritas moneter dan pemerintah jadi otoritas fiskal. Keduanya terpisah dan tidak boleh saling ganggu.

Tapi saat pandemi 2020, Perppu yang disahkan jadi UU 2/2020 membuka pintu darurat: BI boleh membeli Surat Berharga Negara (SBN) di pasar perdana dalam kondisi krisis. Sesuatu yang diharamkan dalam prinsip independensi bank sentral sejak tahun 1999.

Setelah itu, UU Pengembangan dan Penguatan Sistem Keuangan tahun 2023 menetapkan burden sharing hanya boleh jika Presiden menetapkan status krisis bersama Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK). Artinya, keran darurat ini seharusnya hanya dibuka saat api besar. Kini jalurnya lewat bunga, jadi secara hukum masih aman, meski garis darurat dan normal makin tipis.

Kalau dibanding masa pandemi, skalanya jelas berbeda. Tahun 2020 BI membantu lebih dari Rp500 triliun, ibarat menuang galon besar air ke ember ekonomi. Sekarang sekitar Rp 200 triliun, lebih mirip gayung penuh. Tetap besar, meski tak sebesar dulu.

Dunia punya contoh. Studi di Eropa menunjukkan, defisit yang ditutup bank sentral bisa membuat harga-harga naik 20–30 persen lebih tinggi dalam beberapa tahun. Sejarah juga mencatat, saat perang atau krisis, pembiayaan bank sentral sering berujung inflasi tinggi. Intinya: mencetak uang aman saat resesi, tapi berbahaya bila ekonomi normal.

Dampaknya? Jangka pendek, APBN lebih ringan, program jalan, rakyat merasakan manfaat. Tapi jangka menengah, risiko tetap ada: inflasi bisa naik, rupiah melemah, pasar curiga BI terlalu dekat dengan pemerintah. Pemerintah berulang kali menjamin BI tetap independen, tapi janji itu harus dibuktikan.

Kritiknya sederhana. Burden sharing itu seperti keran air darurat di rumah. Saat kebakaran, wajar dibuka. Tapi kalau dipakai mandi tiap hari, tetangga akan bertanya: sumurmu benar-benar kering, atau kamu malas memperbaiki pipa?

Bank sentral dibangun independen agar tak jadi keran harian pemerintah. Lebih bijak jika keran darurat hanya dibuka saat api benar-benar menyala, dan ditutup rapat ketika situasi aman.

Eddy Prastyo | Editor in Chief | Suara Surabaya Media

“Dari galon darurat ke gayung kebiasaan?”
#CatatanPemred


burden-sharing-keran-darurat-yang-dibuka-lagi