MATARAM – Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB), menyikapi nasib 518 tenaga honorer lingkup Pemerintah Provinsi (Pemprov) NTB yang terancam tidak bisa diusulkan menjadi Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK).
Ketua DPRD NTB, Hj. Baiq Isvie Rupaeda, mengeluarkan undangan resmi kepada sejumlah pihak terkait, untuk membahas masalah tersebut. Dimana dalam surat bernomor 005/892/DPRD/2025 tertanggal 11 September 2025, DPRD NTB memanggil Inspektur Inspektorat Provinsi NTB, Kepala BPKAD, Kepala BKD, dan Kepala Biro Hukum Setda NTB, untuk hadir pada rapat yang dijadwalkan Senin 15 September 2025, di Ruang Rapat Pleno Gedung Sekretariat DPRD NTB.
Agenda rapat, yaitu akan membahas status tenaga honorer di lingkup Pemprov NTB yang tidak masuk dalam database Badan Kepegawaian Negara (BKN).
Ketua DPRD NTB menegaskan, pihaknya ingin mendengar langsung penjelasan dari instansi terkait, mengenai alasan banyaknya tenaga honorer yang tidak dapat diusulkan menjadi PPPK. “Tentu kami ingin tahu dulu apa persoalannya, sehingga mereka tidak bisa diusulkan. Saya kira semua harus kita selamatkan. Mereka sudah lama mengabdi,” ujar Baiq Isvie, kemarin.
Menurutnya, DPRD NTB akan mendorong agar para honorer ini tetap mendapatkan ruang untuk bekerja. Opsi yang dibahas antara lain pengangkatan sebagai pegawai paruh waktu terlebih dahulu, sebelum nantinya dapat diusulkan sebagai PPPK penuh.
“Kita berharap para honorer ini diberikan ruang, apakah sebagai pegawai paruh waktu atau dengan skema PPPK penuh. Sementara bisa paruh waktu dulu, lalu ke PPPK penuh,” sarannya.
Meski begitu, Baiq Isvie mengakui ada keterbatasan aturan yang harus diperhatikan. “Segi aturan saya juga belum tahu. Makanya kita ingin duduk bersama dengan BKD, Biro Hukum, dan Komisi I untuk mencari skema terbaik,” imbuhnya.
Diketahui, terdapat sekitar 518 tenaga honorer di lingkungan Pemprov NTB yang terancam tidak bisa diusulkan menjadi PPPK, karena persoalan administrasi dan keterbatasan kuota. Kondisi ini menimbulkan kekhawatiran akan adanya gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) massal, sehingga DPRD berinisiatif mengawal agar para tenaga honorer tetap mendapat kepastian.
Sementara Ketua Komisi I Bidang Politik dan Pemerintahan DPRD Provinsi NTB, Muhammad Akri, menyoroti perlunya perbaikan serius dalam tata kelola perekrutan tenaga honorer di lingkungan Pemprov NTB.
Ia menilai, lemahnya regulasi dan pola rekrutmen yang tidak terkendali telah menyebabkan penumpukan tenaga honorer yang kini berujung pada rencana pemutusan hubungan kerja (PHK) bagi mereka yang tidak terdaftar dalam database Badan Kepegawaian Negara (BKN), dan tidak lolos seleksi CPNS maupun PPPK.
“Selama ini tidak ada regulasi yang mengatur secara jelas. Banyak honorer diangkat hanya berdasarkan SK Gubernur atau bahkan SK Kepala Dinas. Ini harus segera diselesaikan,” ujar politisi Partai Persatuan Pembangunan (PPP) tersebut.
Menurut Akri, banyak tenaga honorer diangkat langsung oleh Organisasi Perangkat Daerah (OPD) sesuai kebutuhan, namun tanpa perencanaan yang matang. Ia mengungkapkan bahwa dalam beberapa kasus, jumlah honorer yang direkrut jauh melebihi jumlah pegawai yang pensiun.
“Contohnya, yang pensiun hanya 10 orang, tapi yang direkrut bisa sampai 100. Ini jelas tidak seimbang dan membebani anggaran daerah,” tegasnya.
Berdasarkan data dari Badan Kepegawaian Daerah (BKD) NTB, belanja pegawai telah mencapai lebih dari 33 persen dari total Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), alias melampaui batas maksimal 30 persen yang ditetapkan oleh pemerintah pusat.
Akri menilai kondisi ini menghambat alokasi anggaran untuk program-program masyarakat. “Kalau anggaran habis untuk belanja pegawai, bagaimana kita bisa membiayai program pembangunan dan pelayanan publik?” katanya.
Dalam menghadapi situasi ini, Akri menyatakan bahwa pemerintah daerah tidak memiliki banyak pilihan selain melakukan rasionalisasi tenaga honorer. Namun, ia menekankan pentingnya prinsip keadilan dan kepastian hukum dalam proses tersebut.
“Kalau mereka tidak memenuhi syarat, ya tidak bisa diangkat. Tapi kalau memenuhi syarat dan ada ruang, BKD harus segera bertindak agar tidak ada yang dirugikan,” ujarnya.
Ke depan, Akri mendorong Pemprov NTB untuk lebih disiplin dan transparan dalam membuka formasi pegawai. Tanpa perencanaan yang jelas, ia khawatir NTB akan terus terjebak dalam siklus penumpukan honorer dan pembengkakan belanja pegawai.
“Solusinya adalah perbaikan tata kelola. Jika tidak dilakukan, masalah honorer akan terus berulang setiap tahun dan beban anggaran akan semakin berat,” tandas Akri.
Menanggapi itu, Kepala Badan Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah (BPKAD) Provinsi NTB, Nursalim menegaskan komitmennya untuk menyiapkan anggaran gaji sesuai ketentuan yang berlaku.
Kepala BPKAD NTB menyatakan bahwa pada prinsipnya pemerintah daerah akan mengalokasikan gaji pegawai sesuai aturan yang telah ditetapkan. Dimana dijelaskan, kategori aparatur sipil negara (ASN) terdiri dari pegawai negeri sipil (PNS) dan PPPK, termasuk skema PPPK paruh waktu yang saat ini masih dalam tahap verifikasi oleh Badan Kepegawaian Daerah (BKD).
“Kalau sudah clear dan diputuskan oleh pemerintah pusat maupun daerah, maka para pegawai ini akan dibayarkan gajinya,” tegas Nursalim.
Ditambahkan Nursalim, peran BPKAD berada di tahap akhir setelah seluruh proses administrasi dan verifikasi status kepegawaian rampung. “Posisi kita (BPKAD, red) di akhir. Kalau sudah clean and clear posisinya, kewajiban pemerintah daerah adalah menyiapkan anggaran penggajiannya,” tegasnya. (rat/yan)
518-honorer-terancam-phk-dewan-panggil-bkd-dan-biro-hukum