Agus Muttaqin Kepala Perwakilan Ombudsman RI Jawa Timur (Jatim) meminta Polda setempat dan jajarannya untuk membuka data serta informasi dalam aksi demonstrasi akhir bulan lalu.
Kepolisian diketahui dalam beberapa waktu belakangan menangkap sejumlah orang yang dicurigai terlibat dalam tindak pelanggaran aksi demonstrasi lalu. Namun, tidak diikuti dengan publikasi status apakah mereka tersangka atau saksi.
“Polda dan Polres seharusnya transparan dengan membuka data siapa saja yang ditangkap. Mereka tersangka atau sebatas saksi. Kami tentu tidak ingin ada maladministrasi berupa penyalahgunaan wewenang dalam penegakan hukum kasus unjuk rasa anarkis,’’ kata Agus Muttaqin Kepala Perwakilan Ombudsman RI Jatim, dalam keterangannya yang diterima suarasurabaya.net, Jumat (12/9/2025).
Sejak Senin hingga Kamis (8-11/9/2025), Ombudsman RI Jatim telah mengumpulkan data pengawasan dalam keamanan dan pengendalian massa berikut proses hukum unjuk rasa di berbagai daerah Jatim.
Ombudsman juga mengundang Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Surabaya yang selama ini mengadvokasi para tersangka, sekaligus memonitor proses hukum.
Dari data LBH, tercatat enam tersangka di Polda, 33 di Polrestabes Surabaya, 12 di Polres Blitar Kota, 1 di Polres kediri Kota, 1 di Polres Jember, dan 1 di Polres Tulungagung. Sebagian dari tahanan tersebut merupakan anak-anak berstatus pelajar.
“Data itu dinamis, artinya ada peluang akan bertambah. Dari informan kami, di Jember tadi malam ada update ada tujuh orang ditangkap, termasuk dua anak-anak,’’ ujar Agus.
“Selain itu, penyidik menyita ponsel mereka yang ditangkap. Bahkan yang di Surabaya, sekitar 20 orang yang ditangkap sudah dilepas, tetapi ponsel-nya masih disita,’’ lanjut Agus.
Agus menegaskan sikap polisi yang enggan mempublikasikan data penangkapan. membuka peluang terjadinya maladministrasi yang bentuknya bisa berupa penyimpangan prosedur dan penyalahgunaan wewenang.
“Mulai soal penahanan melebihi 1×24 jam, penangkapan tanpa surat perintah, pembatasan akses informasi identitas korban, pemeriksaan tanpa pendampingan, hingga penyitaan tanpa prosedur,’’ ujar Agus.
Selain itu, Agus berharap Polda Jatim membuat hotline pengaduan yang digunakan untuk memudahkan pengawasan internal terhadap jalannya penyidikan.
Sementara M. Sholahuddin Komisioner Komisi Informasi (KI) Provinsi Jatim menyatakan bahwa transparasi adalah pilar utama dalam demokrasi. Publik memiliki hak konstitusional untuk mengetahui dan ini dijamin Undang-Undang, baik UUD 1945 pasal 28F maupun UU Nomor 14 Tahun 2008.
‘’Dalam perkara (aksi massa) itu, publik berhak untuk tahu bagaimana proses penegakan hukum berjalan, apalagi dalam kasus yang menyangkut kerugian publik seperti pembakaran fasilitas umum,’’ katanya, Jumat (12/9/2025).
Menurut Sholahuddin, menjadi kewajiban Polisi sebagai lembaga publik untuk menyampaikan informasi secara terbuka. Khususnya terkait jumlah tersangka, jenis pelanggaran yang dituduhkan, dan thapan proses hukum yang berjalan.
“Namun, kita juga harus memahami bahwa UU Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik memiliki pasal pengecualian, di Pasal 17. Informasi yang dapat menghambat proses penyidikan atau melanggar privasi individu dapat dikecualikan dengan catatan ketat dan terbatas, artinya pengecualian itu hanya untuk sementara waktu,’’ paparnya.
Karena itu, Sholahuddin mendorong pihak kepolisian untuk membuka informasi secara bertahap sesuai dengan perkembangan kasus. Selain itu, polisi juga berkewajiban memastikan hak keluarga yang bersangkutan untuk mendapatkan informasi terkait keberadaan dan status hukum anggota keluarga mereka terpenuhi melalui jalur yang jelas dan terbuka.
“Pada intinya, informasi harus dibuka, kecuali jika ada alasan kuat yang sah secara hukum untuk tidak melakukannya. Kami akan terus ikut memantau dan mendorong agar proses ini berjalan transparan dan akuntabel demi kepentingan publik,” pungkasnya. (fan/bil/ipg)
ombudsman-minta-polisi-untuk-membuka-data-penangkapan-pasca-aksi-di-jatim