Petilasan Hayam Wuruk, Jejak Sang Maharaja di Desa Panggih BERITA WUKONG778 MUSIC

SIDOARJO — Di Desa Panggih, Kecamatan Trowulan, berdiri sebuah situs yang diyakini masyarakat sebagai Petilasan Raja Hayam Wuruk. Tempat ini bukan hanya menjadi pengingat masa kejayaan Majapahit, tetapi ruang spiritual yang hingga kini masih ramai didatangi peziarah dari berbagai daerah.

Hayam Wuruk, bergelar Maharaja Sri Rajasanagara, adalah raja keempat Majapahit yang memerintah pada tahun 1350–1389 Masehi. Putra Ratu Tribhuwana Tunggadewi sekaligus cucu pendiri Majapahit, Raden Wijaya, ini tercatat sebagai penguasa yang berhasil mengantarkan Majapahit menuju puncak kejayaan. Bersama Mahapatih Gajah Mada yang terkenal dengan Sumpah Palapa, Majapahit berhasil memperluas pengaruh hingga ke wilayah yang kini meliputi Malaysia, Singapura, sebagian Filipina, dan Thailand.

Petilasan Hayam Wuruk yang kini dikenal sebagai Reco Banteng pada mulanya hanyalah sebuah puthuk, atau gundukan tanah. Saat dilakukan penggalian, ditemukan pondasi berbentuk kotak dari susunan batu. Temuan inilah yang kemudian dibangun menyerupai makam.

“Dulu waktu dibongkar, ditemukan pondasi kotak. Dari situlah kemudian dibangun dan dipercaya sebagai petilasan,” kata Sumadi (83), warga setempat yang ditemui Minggu (07/09/2025).

Kini, area petilasan sudah tertata. Di bagian utama, berdiri sebuah pendopo dengan makam berukuran 4 × 1,5 meter. Di samping makam, tergantung lukisan berukuran 1 × 1,2 meter yang menggambarkan sosok Hayam Wuruk. Lukisan ini bukan hasil dokumentasi sejarah, melainkan karya pelukis yang membuatnya berdasarkan meditasi, dengan maksud menghadirkan sosok raja bijaksana yang selalu memikirkan rakyatnya.

Sementara itu Nama Reco Banteng lahir dari penemuan arca banteng di sekitar pondasi petilasan. Sejak itu, masyarakat percaya bunga dari petilasan bisa dijadikan obat untuk hewan ternak yang sakit.

Selain itu, di sisi barat petilasan terdapat papan bertuliskan Pepunden Mbah Suko. Nama ini merujuk pada pohon suko yang dahulu tumbuh besar di area tersebut. Masyarakat percaya siapa pun yang datang dengan niat tertentu akan mendapat keberuntungan. Meski pohonnya kini sudah tumbang, kepercayaan itu masih melekat hingga sekarang.

Di dalam area petilasan, terdapat sanggar pamujaan yang digunakan pengunjung untuk bersemedi. Tak jauh dari lokasi, ada sumur kuno yang airnya sering diambil dengan tujuan tertentu. Sementara di sisi selatan petilasan, berdiri arca lingga yoni. Arca ini bukan berasal dari temuan asli, melainkan persembahan dari para peziarah.

Meski bukan cagar budaya resmi, petilasan ini tetap dirawat oleh juru pelihara. Perawatan dilakukan dengan gotong-royong masyarakat, mengingat tempat ini menjadi salah satu tujuan penting dalam tradisi ziarah di Trowulan.

Hingga kini, Petilasan Hayam Wuruk tidak pernah sepi pengunjung. Mereka datang dari Mojokerto, Sidoarjo, Jakarta, Bali, bahkan mancanegara. Jumlah peziarah biasanya meningkat pada hari-hari tertentu, terutama hari Kliwon dalam penanggalan Jawa.

Tujuan mereka beragam, mulai dari napak tilas sejarah, berdoa kepada leluhur, hingga memohon kelancaran usaha, jodoh, atau jabatan. Bahkan, saat momentum Pilkada, banyak calon kepala daerah yang datang berziarah untuk memohon restu.

“Banyak orang percaya. Jadi sampai sekarang, peziarah terus berdatangan,” kata Sumadi.

Sejumlah tokoh masyarakat menyebut, dulunya di lokasi petilasan tidak ada makam. Yang ada hanya tumpukan bata merah kuno. Namun, seiring waktu, pemugaran demi pemugaran mengubah wajahnya menjadi sebuah kompleks makam megah, terakhir pada periode 1963 hingga 1996.

Kini, meski perdebatan mengenai statusnya masih ada, masyarakat tetap memandang Petilasan Hayam Wuruk sebagai tempat penting. Ia bukan sekadar situs sejarah, tetapi juga simbol keyakinan, tradisi, dan penghormatan kepada leluhur.

Petilasan Hayam Wuruk menjadi bukti bahwa kejayaan Majapahit tidak hanya tercatat dalam buku sejarah, tetapi juga hadir dalam kehidupan sehari-hari masyarakat.

petilasan-hayam-wuruk-jejak-sang-maharaja-di-desa-panggih