MATARAM – Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) dituding lemah dalam melakukan pengawasan terhadap perusahaan tambak udang yang beroperasi di wilayahnya. Buktinya, dari 193 perusahaan tambak udang besar di NTB, hampir 95 persen diduga tidak memiliki instalasi pengolahan air limbah (IPAL).
“Terus terang, kalau melihat temuan di lapangan, berarti selama ini mereka ngapain saja? Tidak ada pengawasan. Limbah tambak langsung dibuang ke laut,” ungkap Kepala Satuan Tugas Koordinasi Supervisi Pencegahan Wilayah V KPK, Dian Patria saat ditemui di Mataram, kemarin.
Kehadiran KPK di NTB, merupakan tindak lanjut dari kick off meeting awal tahun 2025 lalu. KPK mulai mendata jumlah perusahaan tambak udang, tingkat kepatuhan, hingga menyiapkan langkah penegakan sanksi.
Dari 10 lokasi tambak udang yang di-sampling, hanya dua perusahaan yang memenuhi Juklak (petunjuk pelaksanaan) dan Juknis (petunjuk teknis) Kementerian Kelautan dan Perikanan RI, terkait IPAL. Delapan perusahaan lainnya terbukti tidak memiliki IPAL sesuai standar.
“Bahkan ada perusahaan tambak udang di Lombok Timur yang setelah panen langsung membuang limbahnya ke laut tanpa diolah. Sehingga rusaklah pesisir NTB kalau begini,” sesal Dian.
KPK juga mengingatkan, bahwa selain 193 tambak udang komersial, terdapat ribuan tambak udang tradisional yang rawan tidak terdeteksi. “Jangan sampai tambak tradisional ini hanya kedok, di belakangnya ada orang besar. Itu yang perlu kami ingatkan,” tegas Dian.
Lemahnya pengawasan daerah terhadap perizinan tambak udang ini dipersoalkan KPK. Pemda NTB dinilai baru bertindak reaktif setelah adanya temuan dari KPK, padahal persoalan tambak udang sudah lama terjadi.
Pemda relatif lelet menyikapi situasi ini. KPK menduga Pemda NTB baru mengetahui banyak perusahaan tambak tak ber-IPAL justru setelah KPK turun ke lapangan. “Alasannya karena baru bikin Satgas, dan anggaran terbatas. Tapi kalau tidak ada dorongan KPK, seolah dibiarkan saja,” kritik Dian.
KPK sebenarnya memberikan tenggat hingga September 2025, agar perusahaan tambak udang memperbaiki sistem IPAL. Namun terbitnya Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 1 Tahun 2025, memberi kelonggaran bagi pelaku usaha untuk menyesuaikan hingga 1 Mei 2026, atau satu tahun setelah peraturan diundangkan.
“Kan lebih cepat lebih baik. Kita surati masing-masing segera. Memang sebagian sudah mengurus dari delapan tambang udang tadi. Tapi masih banyak yang lain,” kata Dian.
KPK juga mengapresiasi beberapa perusahaan yang mulai berbenah, seperti Shrimp Club Indonesia (SCI) dan perusahaan lainnya yang berjanji segera mengurus izin IPAL. “Memang tidak mudah urus izin di pusat, tapi jangan sampai ini dimanfaatkan perusahaan besar untuk menunda,” ujar Dian.
KPK juga mengingatkan, agar NTB tidak menjadi korban pola eksploitasi tambak udang seperti di Provinsi Lampung atau daerah di Jawa. Dimana perusahaan merusak pesisir, lalu berpindah ke wilayah lain. “Mari jaga pesisisr NTB yang katanya pantai dan lautnya bagus berwarna biru,” pinta Dian. (rat)
banyak-tambak-udang-bandel-ntb-dinilai-lemah-pengawasan