MATARAM — Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB), khususnya Pulau Lombok, kembali menjadi sorotan dalam diskusi kebencanaan nasional. Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) memperingatkan potensi terjadinya gempa bumi besar atau megathrust yang dapat memicu tsunami dahsyat.
Namun peringatan ini bukan untuk menakut-nakuti, melainkan sebagai langkah awal membangun kesiapsiagaan masyarakat terhadap ancaman yang nyata.
Pakar gempa bumi BMKG, Pepen Supendi, dalam kegiatan sosialisasi di Mataram, menegaskan bahwa potensi gempa besar di NTB harus dipahami sebagai bagian dari upaya mitigasi risiko, bukan sebagai prediksi pasti.
“Kita berbicara megathrust ini untuk kesiapsiagaan. Daripada gempa terjadi tanpa kita tahu sumbernya dari mana, itu akan lebih parah,” ujar Pepen, Selasa (26/8/2025).
Pepen mengingatkan bahwa Indonesia memiliki sejarah panjang gempa bumi besar. Salah satunya adalah gempa tahun 1977 dengan kekuatan 8,3 magnitudo yang terjadi di luar jalur megathrust, berasal dari sesar turun, dan menimbulkan tsunami. Peristiwa ini menjadi pengingat bahwa ancaman gempa bisa datang dari berbagai sumber geologi.
Wilayah NTB sendiri berada dekat dengan zona sesar naik yang dikenal sebagai Flores Back Arc Thrust atau Flores Megathrust. Zona ini memiliki karakteristik mampu memicu gempa besar di laut dangkal, yang berpotensi menghasilkan tsunami signifikan.
Dalam skenario terburuk, tsunami bisa mencapai ketinggian hingga 26 meter, terutama jika sumber gempa berasal dari megathrust Sumba. “Skenario itu kami modelkan supaya ketika gempa atau tsunami lebih kecil dari itu, kita lebih siap,” jelas Pepen.
BMKG telah menyusun berbagai skenario terburuk, termasuk pemetaan tinggi tsunami di setiap wilayah. Pepen menekankan bahwa pemodelan ini bukanlah ramalan, melainkan alat bantu untuk meningkatkan kesiapsiagaan masyarakat dan pemerintah daerah.
Selain ancaman dari utara, Pepen juga menyoroti potensi gempa di selatan Indonesia, termasuk busur Sunda yang membentang dari Sumatra, Bali, hingga Nusa Tenggara. Meski ada pendapat bahwa gempa-gempa kecil dapat mengurangi akumulasi energi, masyarakat tetap diimbau untuk tidak lengah.
“Masyarakat tidak boleh abai. Kuncinya adalah mitigasi. Bukan soal kapan gempanya, karena setiap hari ada gempa. Yang terpenting adalah kesiapan kita menghadapi itu,” tegasnya.
Pepen mengajak masyarakat untuk memulai kesiapsiagaan dari lingkungan terkecil: rumah tangga. Langkah-langkah sederhana seperti mengenali jalur evakuasi, menentukan titik kumpul keluarga, menata barang pecah belah di tempat aman, dan memperkuat perabotan agar tidak roboh saat gempa, bisa menyelamatkan nyawa.
“Jangan lagi panik soal kapan gempa terjadi. Tapi justru mitigasi itu yang harus kita siapkan,” katanya.
Ia juga menegaskan bahwa hingga kini belum ada teknologi yang mampu memprediksi secara pasti kapan dan di mana gempa akan terjadi. Yang bisa dilakukan adalah mengenali zona rawan seperti jalur subduksi dan sesar aktif, serta membangun rumah tahan gempa sebagai bentuk mitigasi paling efektif. “Secara umum, gempa tidak langsung membunuh. Korban biasanya akibat bangunan yang roboh,” jelasnya.
Sebagai penutup, Pepen memberikan analogi sederhana namun menggugah. “Kalau Anda di jalan, lebih aman jika diberitahu ada lubang. Begitu juga dengan ancaman gempa, lebih baik masyarakat tahu risikonya agar bisa berhati-hati, daripada tidak tahu sama sekali,” pungkas Pepen. (rat)
bmkg-ingatkan-potensi-gempa-megathrust-di-ntb