Dari Kampung Jetis ke Pasar Dunia BERITA WUKONG778 MUSIC

SIDOARJO – Dari sebuah kampung kecil bernama Jetis di Sidoarjo, lahirlah Batik Al-Huda, salah satu ikon batik Nusantara yang kini dikenal hingga mancanegara. Perjalanan panjang ini dimulai pada 1982, ketika Nurul Huda, pendirinya, masih duduk di bangku kelas 2 SMA. Dengan modal Rp50.000 dari orang tuanya, ia membeli 15 lembar kain dan mulai bereksperimen membuat motif batik, meski saat itu kemampuannya masih sangat terbatas.

“Waktu itu saya hanya membuat motif abstrak dan ternyata disukai teman-teman serta guru,” kenang Huda. Dari situlah ia mulai menjual batik ke lingkungan sekitar.

Seiring berjalannya waktu, usaha batik yang ia rintis justru menjadi penopang biaya pendidikan hingga bangku kuliah. Setelah lulus, ia memilih tetap mengembangkan usaha sembari menjadi dosen. Dengan tambahan pinjaman Rp1 juta, Huda mulai membeli kain lebih banyak dan memperluas pasar melalui strategi door-to-door, mengunjungi rumah warga, toko, hingga merambah ke luar kota seperti Mojokerto dan Malang.

Krisis moneter 1998 sempat melumpuhkan banyak industri batik, namun Batik Al-Huda mampu bertahan. Kuncinya, menurut Huda, adalah loyalitas para karyawan yang diperlakukan layaknya mitra. Pada tahun yang sama, Bupati Sidoarjo menunjuknya sebagai Ketua Paguyuban Batik Sidoarjo.

Sebagai ketua, ia menelusuri jejak sejarah batik Sidoarjo yang dulunya berkembang di tiga sentra besar: Sekardangan, Kedungcangkring, dan Jetis. Kini, hanya Jetis yang masih bertahan dengan sekitar 18 pengrajin aktif. “Dua daerah lainnya sudah punah, tinggal Jetis yang bertahan,” kata Huda, Rabu (27/08/2025).

Tahun 2008 menjadi momen penting bagi dunia batik ketika UNESCO menetapkannya sebagai warisan budaya dunia. Huda memanfaatkan momentum itu dengan membuka pelatihan membatik, bahkan menyiarkannya lewat televisi lokal. Ribuan orang ikut belajar dan mengunjungi galeri Batik Al-Huda di Pondok Sidokare Asri, Sidoarjo.

Prestasi demi prestasi pun diraih. Tahun 2010, Batik Al-Huda meraih Juara II Pelestarian Budaya serta penghargaan UKM Berprestasi Jawa Timur. Pada 2012, Yayasan Batik Indonesia membeli karyanya senilai Rp20 juta, sementara pada 2014 ia mencatat Rekor MURI dengan membuat kemeja batik terbesar di Indonesia.

Kini, Batik Al-Huda tak hanya dikenal di dalam negeri, tetapi juga menembus pasar internasional, dengan pelanggan dari Singapura, Jepang, Belanda, hingga Eropa Barat. “Bagi kami, menjaga mutu dan ciri khas adalah kunci agar batik Sidoarjo dikenal luas,” tegas Huda.

Salah satu daya tarik Batik Al-Huda terletak pada motif-motifnya yang memiliki filosofi mendalam. Motif beras wutah melambangkan kemakmuran, kembang tebu merepresentasikan kejayaan Sidoarjo sebagai penghasil gula, sementara udang-bandeng menggambarkan dua ikon laut Sidoarjo. Ada juga motif kembang bayam dan burung merak yang menambah kekayaan estetika batik ini.

Menjelang akhir 2019, pesanan Batik Al-Huda mencapai 7.000 helai per tahun. Namun, pandemi Covid-19 membuat produksi anjlok hingga hanya puluhan potong per bulan. Meski begitu, Huda memilih tidak merumahkan 50 karyawannya.

Sebelum pandemi, omzet tahunan bisa mencapai Rp4 miliar, tetapi kini sulit menembus Rp1 miliar. Tantangannya semakin besar akibat membanjirnya batik printing murah dari luar negeri, khususnya China, serta minimnya dukungan daerah.

Harapan baru muncul sejak Juni 2022 ketika Bupati Sidoarjo mewajibkan ASN mengenakan udeng pacul gowang, ikat kepala khas daerah. Produksi udeng melonjak 100 persen, sementara penjualan batik premium di atas Rp1 juta naik 30 persen menjelang Lebaran. Pesanan datang dari berbagai kota besar di Indonesia, seperti Surabaya, Malang, Banyuwangi, Semarang, Banjarmasin, Pontianak, Denpasar hingga Sulawesi.

Dengan pengalaman lebih dari empat dekade, Batik Al-Huda terus konsisten menjaga kualitas dan beradaptasi dengan tren. Dari kampung Jetis hingga pasar global, batik ini membuktikan bahwa warisan budaya bisa bertahan sekaligus berkembang di era modern.

dari-kampung-jetis-ke-pasar-dunia