Di atas kertas, Indonesia berada pada fase langka: dua presiden berturut-turut—Jokowi di ujung masa jabatan dan Prabowo di awal pemerintahan—sama-sama mencatat tingkat kepuasan publik yang tinggi. Ini potret optimisme makro: publik melihat figur, arah besar pembangunan, dan stabilitas. Namun seperti foto udara yang rapi, panorama itu tidak selalu menangkap retakan kecil di permukaan tanah tempat warga melangkah tiap hari.
Di lapisan operasional, ada kejadian yang terasa langsung di kantong, rasa aman, dan ruang hidup warga: kenaikan Pajak Bumi dan Bangunan di sejumlah daerah, di mana Pati menjadi episentrumnya, yang semula diputuskan tanpa dialog memadai; proses legislasi RUU Penyiaran yang terus berjalan di tengah kekhawatiran publik terhadap kebebasan pers; kebocoran Pusat Data Nasional yang melumpuhkan layanan dan merusak rasa aman digital; serta polemik tambang emas di Sangihe yang masih menjadi ancaman bagi ekosistem pulau kecil.
Peristiwa-peristiwa ini tidak otomatis menjatuhkan citra figur presiden, tetapi pelan-pelan menggerus modal sosial: kepercayaan, kredibilitas, dan koneksi emosional antara warga dan negara di titik terdekat kehidupan mereka.
“Harga Sepotong Kepercayaan” adalah titik paling rapuh. Isu orang yang dihilangkan dan kekerasan sosial selama reformasi 98, persepsi kecurangan pemilu, kasus BTS 4G Bakti Kominfo, tragedi Kanjuruhan, hingga skandal e-KTP mengajarkan hal sederhana: kepercayaan dibangun lama, runtuh cepat. Setiap janji yang ditunda, setiap komunikasi yang defensif, dan setiap proses hukum yang tampak tidak setara dan terasa ada “hidden agenda” di baliknya, menambah retak kecil yang jika dibiarkan akan merembet ke mana-mana. Di ruang publik yang serba cepat, respons yang empatik seringkali lebih menentukan daripada rilis panjang yang sempurna.
Lalu ada “Sampah Yang Tak Pernah Kita Bayar”. Warisan masalah yang tak kunjung dibersihkan sampai tuntas. Utang jangka panjang di pemerintah pusat dan sejumlah pemerintah daerah yang membatasi ruang fiskalnya. Kebocoran data yang jejak dampaknya bertahun-tahun ke depan.
Proyek Hambalang yang menjadi simbol mahalnya biaya kegagalan tata kelola: uang publik, asa besar, dan bangunan kosong. Dan di horizon, Ibu Kota Negara Nusantara berdiri sebagai taruhan generasi: ia bisa menjadi lompatan peradaban atau, bila tata kelola, pendanaan, manfaat ekonomi, dan pelibatan publiknya tidak konsisten dan transparan, berisiko menjadi sampah kebijakan terbesar abad ini. Kita tidak memvonis, tetapi menuntut disiplin manajemen perubahan dan transparansi setara skala mimpinya.
Di sisi lain, “Suara Yang Tidak Pernah Sampai” terus menumpuk jadi ganjalan di batin publik. Protes PBB di berbagai daerah baru mendapat koreksi setelah tekanan besar-besaran. Petisi dan kritik luas terhadap RUU Penyiaran masih berjalan beriring dengan proses legislasi, sementara kekhawatiran jurnalisme investigasi dan kebebasan pers belum terjawab tuntas. Di Sangihe, penolakan tambang emas masih menjadi pertaruhan ruang hidup di pulau kecil. Teluk Benoa bertahun-tahun jadi contoh tarik-menarik kebijakan dan partisipasi warga yang melelahkan.
Pola ini bukan hal baru. Gelombang protes “Reformasi Dikorupsi” tahun 2019, yang menolak revisi UU KPK, RKUHP, dan sejumlah RUU bermasalah, tidak mengubah arah keputusan. Omnibus Law Cipta Kerja tetap disahkan di tengah kritik luas soal dampaknya pada buruh dan lingkungan. Revisi UU KPK yang melemahkan kewenangan lembaga itu, serta pengesahan KUHP baru yang mengandung pasal-pasal kontroversial, menunjukkan betapa suara publik sering berhenti di pagar gedung parlemen tanpa menembus ruang pengambilan keputusan.
Semua ini mengirim pesan berbahaya: partisipasi publik sering diperlakukan sebagai formalitas, bukan masukan yang memengaruhi kebijakan. Dan dari sanalah rasa “percuma bicara” tumbuh. Bukan karena warga tidak mau terlibat, tetapi karena mereka berkali-kali melihat hasil akhir yang tidak berubah meski suara sudah lantang, dan berakhir lelah.
Ketiga hal ini saling mengunci dalam lingkaran setan modal sosial. Ketika suara publik macet, kepercayaan turun. Ketika kepercayaan turun, kemauan politik untuk membersihkan “sampah” melemah. Saat sampah kebijakan menumpuk, suara publik makin sulit didengar karena energi kita habis memadamkan api lama.
Dua peristiwa setahun terakhir cukup sebagai cermin: di Pati, jalur aspirasi formal tak cukup sehingga koreksi baru terjadi setelah gelombang protes. Ini indikasi kanal partisipasi yang tidak efektif. Di kebocoran Pusat Data Nasional, rasa aman digital runtuh. Bila mitigasi, audit, dan komunikasi tidak terbuka, yang tertinggal adalah residu kecemasan dan sinisme jangka panjang.
Usia 80 tahun adalah momentum untuk menata ulang fondasi, bukan sekadar merapikan spanduk perayaan. Kemerdekaan tidak diukur oleh keriuhan seremoni atau angka persetujuan semata, tetapi oleh daya tahan modal sosial.
“Apakah kepercayaan publik menguat saat diuji. Apakah warisan masalah ditutup rapi, bukan disapu ke bawah karpet. Apakah jalur komunikasi warga negara benar-benar dua arah, terdengar dan berdampak.”
Maka agenda 20 tahun ke depan sebenarnya sederhana, meski tidak mudah. Pemerintah perlu memosisikan partisipasi publik sebagai “design principle”, bukan “afterthought”: konsultasi bermakna sebelum keputusan, transparansi saat eksekusi, akuntabilitas setelahnya.
Proyek besar, termasuk IKN, butuh tata kelola kelas dunia, manajemen risiko yang dibuka ke publik, serta metrik manfaat yang terukur dan dipantau independen.
Di ranah digital, keamanan data warga harus diperlakukan sebagai infrastruktur dasar, setara air bersih dan listrik, dengan audit berkala dan komunikasi krisis yang jujur.
Warga, pada saat yang sama, perlu memelihara disiplin partisipasi: kritis yang faktual, advokasi yang berjejaring, dan pengawalan kebijakan yang berkelanjutan, bukan hanya viral semalam…. mampu menjaga napas panjang agar isu berkelanjutan.
Kita merayakan ulang tahun republik. Angka 80 itu indah di panggung. Tetapi angka yang lebih menentukan adalah tiga metrik yang sehari-hari tidak kita pajang: tingkat kepercayaan yang tumbuh, tumpukan masalah lama yang berkurang, dan jumlah suara warga yang benar-benar sampai ke meja keputusan.
Jika tiga angka itu naik, perayaan apa pun terasa wajar. Jika tidak, panggung hanya menutupi retak. Dan tugas jurnalisme, tugas yang tak boleh menjauh dari jantung dan batin publik, adalah memastikan lampu sorot tidak hanya menyinari panggung, tetapi juga retakan di lantai sebelum semuanya menjadi runtuh yang terlambat kita akui.
Eddy Prastyo | Editor in Chief | Suara Surabaya Media
“Kemerdekaan tak diukur dari panggung yang megah, tapi dari lantai yang tak retak.”
erosi-modal-sosial-di-usia-80-tahun-republik