
Bandarlampung, 25/8 (ANTARA)–Dengan jumlah total populasi sebanyak sembilan juta orang, Provinsi Lampung harus terus berjibaku mengentaskan kemiskinan di daerahnya. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Lampung pada Maret 2025, provinsi itu memiliki penduduk miskin sebanyak 887 ribu orang.
Persentase penduduk miskin itu terkonsentrasi di pedesaan sebesar 11,32 persen atau sebanyak 657.800 orang. Sedangkan di perkotaan penduduk miskin berjumlah 229.100 orang.
Banyak upaya yang dilakukan oleh pemerintah daerah dalam meningkat kesejahteraan masyarakat di daerahnya, dan upaya itu pun disambut oleh pemerintah pusat melalui berbagai program yang ditujukan langsung ke daerah. Salah satunya di sektor pendidikan melalui Program Sekolah Rakyat.
Cerita dan harapan merdeka dari kemiskinan di Lampung dimulai dari potret proses operasional Sekolah Rakyat pertama di Sai Bumi Ruwa Jurai, yakni di Sekolah Rakyat Menengah Atas (SRMA) 32 Lampung Selatan.
Dari lokasi usulan pertama sebagai alternatif pelaksanaan Sekolah Rakyat sementara di SMA Unggul Terpadu Kabupaten Lampung Tengah, kemudian berpindah ke UPTD Mardi Guna Lempasing Kabupaten Pesawaran hingga ditetapkan di Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia (BPSDM) Provinsi Lampung yang bertempat di Hajimena Kabupaten Lampung Selatan.
Sekolah Rakyat Menengah Atas 32 Lampung Selatan menjadi saksi atas adanya harapan anak-anak dari keluarga dengan tingkat kesejahteraan terendah di Provinsi Lampung untuk merasakan nikmatnya menempuh pendidikan gratis. Mereka tidak perlu memikirkan biaya sekolah ataupun membebani orang tua yang telah cukup keberatan untuk membiayai kehidupan sehari-hari keluarga.
Ada proses panjang hingga terjaringngnya 75 orang sebagai siswa pertama di sana.
Semuanya berjalan lancar meski sempat sedikit terkendala adanya proses renovasi ruang kelas yang belum 100 persen selesai.
Tepat pada 16 Agustus 2025, kisah perjalanan anak-anak dari keluarga tidak mampu itu berlanjut. Sehari sebelum Hari Kemerdekaan Indonesia, anak-anak yang telah resmi berstatus sebagai siswa-siswi Sekolah Rakyat itu pun merasakan kemerdekaan dari kemiskinan melalui pendidikan.
Hari itu mereka berkumpul di satu ruang kelas yang baru selesai direnovasi, dengan bau khas cat tembok, serta furniture berupa kursi dan meja belajar yang baru dibuka dari plastik pembungkusnya. Mereka antusias mendengarkan arahan para guru dalam kegiatan masa pengenalan lingkungan sekolah.
Tangan-tangan generasi muda itu cepat mencatat berbagai arahan guru dalam kegiatan tersebut, tanpa rasa bimbang atau takut mereka mengelilingi berbagai ruangan sembari mencatat denah lokasi, dan tiba di asrama yang nantinya akan menjadi rumah kedua mereka selama menimba ilmu.
Tidak ada canggung di antara para siswa-siswi dan para guru yang ternyata rata-rata berusia masih muda, meski muda mereka pra guru muda ini telah memiliki segudang pengalaman serta cekatan dalam menangani dan mengarahkan anak-anak dalam proses pembelajaran sekaligus adaptasi lingkungan.
Dengan latar belakang siswa yang beragam, banyak kisah serta harapan yang tersimpan serta menjadi fondasi penguat berlangsungnya Sekolah Rakyat pertama yang beroperasi di Lampung.
Kisah dan harapan indah dari para siswa diceritakan oleh Riska Valentina, siswi Sekolah Rakyat Menengah Atas 32 Lampung Selatan yang berasal dari Kota Metro.
Riska Valentina dengan perawakan kecil, kulit sawo matang, bukanlah anak dari keluarga berada. Ayahnya buruh harian pabrik mie, dengan kondisi keuangan keluarga minim.
Ia bercerita sembari menahan air mata. Kadang ayahnya tidak dapat pulang membawa upah untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Terlebih lagi bila cuaca hujan mie yang dijemur akan terhambat kering, sehingga pembayaran upah ayah Riska terkadang pun ikut terlambat hingga tiga hari sampai satu pekan.
Sedangkan ibunya seorang ibu rumah tangga biasa tanpa penghasilan, dan ia pun memiliki dua orang adik yang masih memerlukan biaya yang banyak.
Beragam hal tersebut menjadi alasan utamanya mengikuti program Sekolah Rakyat, agar tidak membebani kedua orang tuanya. Dan ini menjadi salah satu pendorong terbesar dirinya untuk terus bersemangat melanjutkan pendidikan di sekolah menengah atas.
“Saat ditawari masuk Sekolah Rakyat langsung saya terima, karena saya berpikir kalau saya bisa sekolah gratis dibiayai negara orang tua tidak akan kesulitan membayar sekolah saya. Jadi uangnya bisa untuk memenuhi kebutuhan lainnya,” kata dia dengan bersemangat.
Bagi remaja perempuan itu, menempuh pendidikan secara gratis menjadi sebuah kesempatan yang luar biasa.
Selain untuk menambah teman sebaya, Sekolah Rakyat juga menjadi pintu gerbang bagi anak-anak kurang mampu ini untuk membawa keluarga mereka ke level yang lebih tinggi, di mana nantinya mereka disiapkan mengantarkan keluarganya menjadi lebih sejahtera.
“Saya bercita-cita bisa menjadi seorang dosen, jadi setelah lulus dari Sekolah Rakyat ingin melanjutkan kuliah lagi. Saya akan berusaha sebaik mungkin agar menjadi siswa yang berprestasi, serta bermanfaat untuk sesama. Ini bentuk balas budi kepada orang tua dan negara yang sudah memberi kesempatan ke saya menempuh pendidikan lebih tinggi,” katanya.
Mimpinya menjadi seorang sarjana pertama di keluarganya akan terus ia kejar dengan terus mengikuti berbagai pembelajaran dengan tekun di Sekolah Rakyat selama tiga tahun ke depan.
Cerita lainnya disampaikan siswa yang berasal dari Kabupaten Mesuji, Fatul. Dia menempuh jarak 201,6 kilometer melalui Jalan Tol Trans Sumatera dari Kabupaten Mesuji ke SRMA 32 Lampung Selatan.
Fatul, yang lugas serta jenaka itu, harus menahan rasa lelahnya melakukan perjalanan antarkabupaten menuju Sekolah Rakyat dengan perjalanan darat selama empat jam untuk meraih mimpi menjadi tentara.
Sebagai seorang anak buruh tani yang diupah tidak menentu, Fatul merasa menjadi seorang siswa Sekolah Rakyat merupakan hal yang sangat istimewa.
Hal itu terjadi karena saat ia hendak ke sekolah berbagai pihak termasuk para pejabat mengantarkan kepergiannya dan menyemangatinya. Hal itu jadi sebuah keistimewaan yang tidak akan pernah dirasakan oleh anak dari kalangan paling miskin di sebuah daerah. Namun yang lebih istimewa ia mampu mengajak ayahnya melihat lokasi tempatnya menimba ilmu selama tiga tahun ke depan.
“Bapak ikut mengantarkan naik mobil bersama pendamping PKH, tentu bangga dan ini jadi momen istimewa,” kata Fatul.
Menurut Fatul, dia tidak akan bisa sekolah kalau sekolahnya tidak gratis, sebab untuk makan sehari-hari saja masih kurang.
Menurut dia, melalui pendidikan ini ada kemungkinan dirinya saya bisa membuat keluarga jadi lebih sejahtera.
Asa, mimpi, cita-cita, semangat, kegigihan dan tawa anak-anak keluarga yang kurang sejahtera yang kini menjadi siswa-siswi Sekolah Rakyat itu merupakan gambaran atas pentingnya akses pendidikan yang merata bagi semua warga negara.
Oleh Ruth Intan Sozometa Kanafi
Editor : Sapto Heru Purnomojoyo
potret-sekolah-rakyat-dan-harapan-merdeka-dari-kemiskinan-di-lampung