Ketika Rasa dan Ide Diseduh Bersama Kopi BERITA WUKONG778 MUSIC

Malam ini saya duduk di sebuah warung kopi sederhana di Sidoarjo. Di depan saya, secangkir kopi robusta Banyuwangi mengepul, hitam pekat dengan aroma tanah kering yang menyelinap lembut ke hidung. Saya seruput perlahan, pahitnya langsung menggigit, tapi meninggalkan rasa hangat yang panjang. Rasanya bukan sekadar minuman, tapi seolah ada cerita panjang yang ikut larut di setiap tetesnya.

Jawa Timur memang punya banyak cerita tentang kopi. Dari lereng Ijen di Banyuwangi, dataran tinggi Dampit di Malang, sampai dataran Bondowoso yang dingin, biji-biji kopi tumbuh dalam keheningan tanah vulkanik. Indonesia sendiri ada di papan atas produsen kopi dunia, dan Jawa Timur punya peran penting di dalamnya. Tapi data hanyalah angka. Yang lebih menarik, kopi selalu membawa cerita tentang manusia: tentang keringat petani, perbincangan di warung, sampai ide-ide besar yang lahir di meja kecil.

Sejarah dunia pernah diubah oleh secangkir kopi. Sebelum kopi datang ke Eropa abad ke-17, orang terbiasa memulai hari dengan bir encer atau segelas wine. Bukan karena ingin mabuk, tapi karena efek alkohol yang menghangatkan dan air sering tidak higienis.

Akibatnya, masyarakat Eropa hidup dalam “keseharian setengah mabuk,” sehingga bar lebih sering jadi tempat gaduh ketimbang ruang berpikir. Saat kopi masuk lewat pedagang Arab dan Turki Ottoman, segalanya berubah. Kopi bukan minuman yang memabukkan, tapi menyegarkan pikiran. Coffeehouse pun lahir sebagai antitesis bar: bukan tempat euforia, melainkan ruang perdebatan.

Di London, coffeehouse dijuluki penny universities: dengan secangkir kopi seharga satu penny, orang bisa membaca koran terbaru, mendengar gosip politik, hingga berdebat filsafat. Di Inggris, diskusi itu melahirkan embrio demokrasi modern: kebebasan pers, parlemen yang lebih kuat, dan lahirnya lembaga-lembaga seperti Lloyd’s yang berawal dari obrolan pedagang di meja kopi.

Di Paris, kafe menjadi markas para filsuf Pencerahan : Voltaire, Rousseau, Montesquieu. Mereka menuangkan gagasan tentang kebebasan, kesetaraan, dan kedaulatan rakyat. Dari kopi lahir ide-ide besar yang menyalakan api Revolusi Prancis.

Di seberang Atlantik, kopi juga menjadi simbol perlawanan. Tahun 1773, rakyat koloni Amerika memprotes pajak teh yang mencekik dengan menggelar peristiwa Boston Tea Party: mereka menumpahkan peti-peti teh Inggris ke laut.

Sejak itu, minum teh dianggap tanda kesetiaan pada penjajah. Rakyat Amerika pun beralih ke kopi sebagai simbol identitas dan kemerdekaan. Dari secangkir kopi di meja-meja koloni lahirlah perbincangan tentang kebebasan, yang kelak membakar Revolusi Amerika dan melahirkan sebuah bangsa baru.

Di Nusantara, kopi punya wajah yang lebih getir. Pada abad ke-19, kopi jadi komoditas tanam paksa. Petani Jawa dipaksa menanamnya, hasil panen dikirim ke Eropa, sementara di tanah sendiri banyak yang lapar. Dari kopi, Belanda selamat dari krisis keuangan. Dari kopi pula lahir kritik pedas Multatuli dalam Max Havelaar, yang membuka mata Eropa tentang derita rakyat Jawa. Dan tak bisa dipungkiri, benih nasionalisme kita ikut disirami dari sana.

Bahkan sampai hari ini, warung kopi tetap jadi ruang politik rakyat. Bukan hanya tempat melepas lelah, tapi juga tempat orang ngobrol tentang hari itu, scroll tiktok dengan wifi gratisan warkop, membatin cicilan motor, masalah rumah tangga, kebijakan pemerintah, sampai gosip di RT. Dari obrolan ringan itu, kadang muncul kesadaran bersama, kadang juga lahir perlawanan kecil-kecilan terhadap hal-hal yang dianggap tak adil.

Maka, kopi bukan sekadar pelepas kantuk, pelarian masalah di rumah, atau gaya hidup. Ia adalah saksi dari pencerahan, perlawanan, dan gerakan yang mengubah arah sejarah. Dari bar yang penuh euforia ke coffeehouse yang melahirkan ide, dari kebun kopi di Ijen sampai gedung parlemen di Paris, dari Boston Tea Party sampai meja warung di Sidoarjo, kopi selalu punya peran.

Dan saat menyeruput tegukan terakhir robusta Banyuwangi malam ini, saya merasa kita berutang hormat pada kopi. Bukan hanya karena rasanya, tapi karena ia pernah, dan mungkin masih, menjadi agen perubahan.

Bagaimana cerita ngopi Anda, kawan?

Eddy Prastyo | Editor in Chief | Suara Surabaya Media

“Sejarah besar kadang lahir dari cangkir yang kecil.”


ketika-rasa-dan-ide-diseduh-bersama-kopi